film lama bagus – Melangit Merah (2025)

19SaturdayOct 2024

Posted by sonitriantoro in Film 1960-an Paling Kucintai

1 Comment

Tags

film klasik bagus, film lama bagus, film western bagus

film lama bagus – Melangit Merah (2)

Sergio Leone

1965

Western

Film western tadinya genre yang saya benci. Durasinya biasanya panjang, ritmenya lelet—dramatisasinya memakan banyak waktu, apalagi jelang masuk adegan tembak menembak, ancang-ancangnya bisa ditinggal nyuci motor—lalu lanskap gurunnya yang gersang, plus tidak terhubung dengan kehidupan kita orang Indonesia yang tahunya “klitih”. Satu lagi, ada kesan “kuno” dalam karakter-karakter koboi, sherif, dan bandit dalam film-film western.

Namun, suka atau tidak, genre ini dirayakan di barisan film-film klasik Hollywood, terutama di dekade 40 sampai 60-an. Makanya, demi memahami tren dan sejarah sinema, saya memaksakan diri menonton banyak film-film western.

Apalagi film-filmnya John Ford atau John Wayne. Berderet sudah saya tonton, tapi tidak ada yang berkesan—termasuk karya-karya yang dianggap emas seperti Stagecoach (1939) atau The Searchers (1956). Bahkan, untuk beberapa filmnya, saya lupa sama sekali ceritanya apa.

Rasa alergi terhadap western akhirnya sirna semenjak saya menemukan sutradara bernama Sergio Leone. Orang ini telah mengacak-acak genre western, merevolusi sebagian besar aspek dalam penulisan cerita dan karakternya.

Leone dikenal gara-gara trilogi Dollars, berisi tiga film berupa A Fistful of Dollars (1964), For A Few Dollars More (1965) dan The Good, The Bad, and The Ugly (1966). Trilogi ini dipuja karena berhasil mengorbitkan aliran spaghetti western, dan secara konsisten terdaftar di lis film-film western dengan rating terbaik dalam sejarah.

Sebenarnya, Leone tidak bermaksud menjadikannya trilogi. Cuma, ketiganya pakai karakter utama yang sama, “Man With No Name”. Ketiganya diperankan Clint Eastwood, mengenakan pakaian yang sama, dan bertingkah laku identik. Hanya nama panggilannya yang berubah-ubah tiap filmnya: “Joe”, “Manco”, dan “Blondie”. Jadi, banyak yang bilang tiga film itubisa diurutkan sebagai sebuah riwayat karakter.

Saya suka semua film di trilogi Dollars. Tapi saya cuma mau menulis untuk dua terakhir, For a Few Dollars More dan The Good, The Bad, and The Ugly. Saya kurang terkesima dengan A Fistful of Dollar karena ceritanya mirip dengan film Yojimbo (1961)-nya Akira Kurosawa. Secara terbuka, Leone memang mencomot ide film Kurosawa itu. Saya sudah pernah menulis tentang Yojimbo, jadi berat tangan ini menulis panjang dua kali untuk cerita yang serupa, bahkan dalam set dekade yang sama.

Jadi, marilah langsung loncat ke For A Few Dollars More, karya western yang menurut saya paling seru, paling rock & roll, sesuai dengan teks pembukanya:

“Ketika hidup tidak ada nilainya, kematian terkadang memiliki harga. Itulah mengapa para pembunuh bayaran muncul.”

Keren.

Setelah kesuksesan A Fistful of Dollars, produser menginginkan lebih. Maka, Leone mulai menggarap For A Few Dollars More, memberikan penghormatan kepada film-film western tradisional, tapi secara vulgar menyimpang dalam alur cerita, plot, karakter, dan nuansa.

Clint Eastwood, sekali lagi, berperan sebagai bounty hunter yang mencoba menangkap pembunuh bernama El Indio (Gian Maria Volonte). Lalu, ada juga Kolonel Douglas Mantimore (Lee Van Cleef), mantan prajurit konfederasi yang juga mengincar uang hadiah untuk kepala El Indio. Tak butuh waktu lama bagi kedua bounty hunter itu sadar sebaiknya bekerja sama bila ingin melacak dan membunuh El Indio dan gengnya.

Salah satu inovasi Leone untuk For a Few Dollars More adalah menciptakan segitiga karakter utamanya yang mahsyur—yang kemudian disempurnakannya lagi dalam The Good, The Bad & The Ugly.

Kuncinya ada pada penambahan aktor baru, yaitu Van Cleef, sebagai partner dari Eastwood yang memerankan karakter utama. Masuknya Cleef bukan hanya hasil imajinasi penulis skenario, tapi juga dari bujet lebih besar yang dihasilkan dari kesuksesan A Fistful of Dollars. Berkat pembiayaan ekstra, Leone bisa memperkuat ceritanya dengan karakter penting baru.

Makanya, sehabis For A Few Dollars More, tidak ada lagi film western-nya Leone yang cuma menyediakan satu karakter utama. Selalu dua atau lebih. Penambahan karakter ini tidak hanya menambah lebih banyak pembunuhan, tetapi juga kesempatan bagi Leone untuk menciptakan hubungan lebih dekat antar karakter.

Meskipun punya karier akting yang lumayan sukses bertahun-tahun, ini adalah peran utama pertama Lee Van Cleef dalam sebuah film. Ia sudah muncul di beberapa Hollywood terkenal sebelumnya, tetapi selalu memainkan peran-peran non-signifikan.

Cleef punya persona layar yang pendiam, maka ia terbiasa berperan sebagai penjahat atau pemain pendukung dalam drama kriminal, seperti debut filmnya di High Noon—yang menang Oscar di 1952. Setelah mengalami luka serius dalam kecelakaan mobil di 1958, karier akting Van Cleef mulai pudar, ditambah kebiasaannya mabuk-mabukan.

Wajar, Van Cleef kemudian amat bersyukur atas perannya dalam For A Few Dollars More, melepaskannya dari masa-masa sulit. Film ini menandai kebangkitan kariernya.

Lain kasusnya dengan Volonte. Di balik apiknya karakter Indio, Volonte tidak merasa nyaman dalam memerankannya. Selama produksi film, Leone merasa Volontè terlalu teatrikal. Dibandingkan Cleef dan Eastwood, Volonte memang aktor khas Italia. Ini kurang sejalan dengan selera Leone. Tapi sejak awal, Volonte memang cuma mau duit saja di film ini—fuck passion.

Apesnya, Leone lalu sering menuntut pengambilan gambar ulang sampai Volonte lemas. Volontè jengkel dengan metode Leone, sehingga ia sempat ngambek keluar dari lokasi syuting. Tololnya, mungkin Volonte lupa kalau mereka syuting di padang pasir. Daripada mati konyol dibakar terik, ia balik ke set melanjutkan syuting, tapi sambil bersumpah tak akan pernah ikut dalam film western lagi—menurutnya adalah genre yang melelahkan.

Nah, kalau Eastwood sih jangan ditanya.

Gaji Eastwood meningkat dari $15.000 untuk A Fistful of Dollars, menjadi $50.000 untuk film ini, dan mencapai $250.000 untuk The Good, the Bad and the Ugly (1966). Ini baru jenjang karier bos!

Eastwood menjelma ikon lain dari genre western, bahkan salah satu ikon terbesar sinema. Bila John Wayne adalah simbol western yang lama dan konservatif, maka Eastwood adalah wajah western yang lebih modern, anti-hero.

Eastwood berperan penting dalam menciptakan visualisasi khas karakter ”Man With No Name”. Dan meskipun aslinya bukan perokok (wow fakta!), Eastwood diminta Leone mengisap cerutu untuk membentuk persona karakternya. Hingga sekarang, rasanya aneh membayangkan Eastwood tanpa rokok terselip di bibirnya.

“Saya ingin memainkannya dengan irit kata-kata dan menciptakan seluruh perasaan melalui sikap dan gerakan. Itu jenis karakter yang sudah lama saya bayangkan, menjaga misteri dan menyinggung apa yang terjadi di masa lalu. Saya merasa semakin sedikit ia berkata, semakin kuat jadinya, dan semakin karakter ini tumbuh dalam imajinasi penonton.”

— Eastwood

Selain karakter, dialog-dialog dalam For A Few Dollars More juga memukau. Ada humor kering, terkadang kelam, dalam A Fistful of Dollars yang masih dipertahankan. Tapi, saya lebih suka menggaris bawahi dialog-dialognya yang badass:

‘Baby’ Red Cavanaugh: I didn’t hear what the bet was.

Monco: Your life.

atau

Wild, The Hunchback: Yes, and very, very bad. Now come on, you light another match.

Col. Douglas Mortimer: I generally smoke just after I eat. Why don’t you come back in about ten minutes?

Wild, The Hunchback: Ten minutes you’ll be smoking in hell. Get up!

atau

Col. Douglas Mortimer: One from the outside one from the inside. There’s no other way.One of us will have to join Indio’s gang.

Monco: Why did you look at me when you said one of us?

Col. Douglas Mortimer: Because they don’t know you. Wild sees me and his hump will catch on fire.

Monco: Tell me Colonel… how do you propose that I join up with Indio? Maybe bring him a bunch of roses?

Dialog-dialog bengis itu mendukung adegan-adegan kuat. Adegan aksi dalam film For A Few Dollars More lebih inovatif daripada film sebelumnya. Ada perampokan bank El Paso yang dirancang apik oleh El Indio dan gengnya, serta pertarungan pamungkas yang memukau antara Mortimer dan El Indio.

Begitu juga adegan penutup, ketika si ”Man With No Name” itu menghitung dulu jumlah bandit yang sudah dibunuhnya, lalu sadar masih ada satu yang kurang. Dengan tenang sekaligus dramatis, ia menembak bandit tersisa yang mengendap-endap dari balik punggungnya untuk menembak.

Ini adegan-adegan aksi yang lebih keren dari semua superhero Marvel. Wartawan Inggris Kim Newman sampai meyakini For A Few Dollars More berhasil meningkatkan citra profesi pembunuh bayaran di dunia nyata.

film lama bagus – Melangit Merah (3)

Seperti film Leone lain, saya juga menggemari musik latarnya. Skor di film Leone amat khas dibanding film western sebelumnya. Ada unsur badungnya, misalnya dengan siulan atau gitar elektrik. Dalangnya adalah Ennio Morricone, komponis dan penata musik legendaris.

Menyoal musik, saya masih terngiang-ngiang dengan melodi jam saku kepunyaan El Indio. Selain memang jam saku itu menyimpan kisah sendiri, bunyi melodinya bisa tiba-tiba membuat suasana menjadi sangat muram—apalagi dengan latar belakang kisah perempuan yang bunuh diri kala diperkosa.

“Musik yang dihasilkan oleh jam tangan ini menggerakkan pikiran Anda ke tempat yang berbeda,” kata Morricone. “Karakter itu sendiri muncul melalui jam tetapi dalam situasi yang berbeda setiap kali muncul.”

Lebih-lebih, ketika bebunyian jam itu digabung dalam adegan pertempuran terakhir antara ketiga karakter utama ini. Savage.

Capaian Morricone dalam mengaransemen musik untuk film-film Leone menyadarkan komposer western lain untuk tidak harus meniru lagu-lagu daerah dan karya orkestra klasik Amerika yang menyebabkan kantuk. Mereka ternyata bisa membuat musik yang sesuai dengan genre daripada selera populer.

Menonton For A Few Dollars More berulang, saja menyadari karakter koboi sebenarnya juga ada pada sutradaranya sendiri. Sewenang-wenang.

Lewat For A Few Dollars More, Sergio Leone melanggar banyak ”aturan tak tertulis” untuk film-film western Hollywood tahun 1960-an. Di antaranya: memperlihatkan penembak dan korban dalam satu shot yang sama, kuda ditembak mati, penggunaan ganja, dan adegan pemerkosaan.

Bekerja di sinema Italia, Leone mengawali karier sebagai asisten Vittorio De Sica selama produksi film Bicycle Thieves (1948). Leone mulai menulis skenario di dekade 1950-an, sembari bekerja sebagai asisten sutradara pada beberapa produksi internasional berskala besar yang direkam di Cinecittà Studios di Roma, terutama Quo Vadis (1951) dan Ben-Hur (1959), yang didukung secara finansial oleh studio Amerika.

Baru pada pertengahan 1960-an, Leone mengalihkan perhatiannya ke spaghetti western. Menurut buku Christopher Frayling: Something To Do with Death, Leone memang belajar banyak tentang old west di Amerika (Apa itu old west? Kalian bisa baca ulasan saya tentang film Once Upon A Time in West).

Beberapa kritikus mencatat ironi dari seorang sutradara Italia yang tidak bisa berbahasa Inggris, dan bahkan belum pernah mengunjungi Amerika Serikat, nyaris seorang diri berhasil mendefinisikan ulang narasi-narasi koboi Amerika. Ia merebut spaghetti western menjadi sinonim dari dirinya. Banyak sutradara yang mencoba-coba genre tersebut, beberapa berhasil. Tapi satu nama yang muncul di setiap benak selalu sama: Sergio Leone.

Spaghetti western pada dasarnya adalah subgenre dari film-film western yang diproduksi di Eropa. Istilah ini digunakan kritikus asing karena sebagian besar film western dalam barisan itu diproduksi dan disutradarai orang Italia.

Film-film ini awalnya dirilis dalam bahasa Italia atau sulih suara Italia. Sebagian besar yang difilmkan antara tahun 1964 dan 1978 dibuat dengan anggaran rendah, diambil gambarnya di berbagai lokasi di sekitar Italia bagian selatan dan Spanyol. Beberapa set dan studio yang dibangun untuk spaghetti western bertahan hingga kini sebagai taman hiburan, seperti Texas Hollywood, Mini Hollywood, dan Western Leone, dan terus digunakan sebagai set film.

Karena mulanya campur aduk dengan western-western lain, sejarahwan film sulit mengatakan film mana yang merupakan spaghetti western pertama. Namun, sejak rilisnya A Fistful of Dollars pada 1964, kian banyak produksi film-film sejenis.

Leone berinovasi dalam gaya sinematik, musik, akting, dan sebagainya. Karya-karyanya sering digambarkan menghindari, mengkritik, atau bahkan mendemistifikasi banyak konvensi western tradisional AS. Ini sebagian disengaja, sebagian lagi karena konteks latar belakang budaya yang berbeda

Ciri-ciri teknis spaghetti western ini misalnya keterlibatan anti hero, shot closeup zoom yang dramatis, atau kredit pembuka yang warna-warni. Di Hollywood, western klasik memisahkan dengan jelas tokoh pahlawan dan penjahat. Sebaliknya, spaghetti western mengaburkan garis antara yang baik dan yang jahat lewat karakter antihero yang kejam atau penjahat yang simpatik.

Dalam film-film western tradisional, karakter pahlawan dan penjahat tampak mirip dan modis, seolah-olah mereka baru saja keluar dari salon. Sebaliknya, karakter Leone lebih realistis dan kompleks: lonewolf, jarang bercukur, kumal, berkeringat deras, mengesankan kebrutalan. Karakternya juga ambigu secara moral sesuai tuntutan situasi.

Dengan plot yang terstruktur sebaik ini, dan karakter utama yang menarik, Leone mampu mementaskan aksi dan unsur thriller terbaik dari genre itu. Western ala Leone adalah tentang menunda momen kekerasan demi meningkatkan ketegangan.

Ketika bagian aksinya muncul, spaghetti western lebih banyak memasukkan adegan tembak-menembak berdarah, menggunakan darah kental dengan cara yang tidak dapat dilakukan Hollywood di bawah Motion Picture Production Code (juga dikenal sebagai Hays Code) yang berlaku dari tahun 1934 hingga 1968.

Sementara sinema AS sebelumnya banyak mengidealkan wild west, spaghetti western mengambil pendekatan yang lebih realistis. Seringkali dipengaruhi oleh pandangan dunia politik sayap kiri, pembuat film Italia memfokuskan cerita mereka pada korupsi sistematis di old west.

Kritikus film Amerika awalnya membenci A Fistful of Dollars karena terlalu stylish dan membawa unsur kekerasan yang ekstrem. Meskipun jinak menurut standar modern sekarang, film-film ini memang sudah tergolong kejam pada masanya. Ini adalah salah satu aspek terpenting dari film Leone. Ia ingin menunjukkan betapa keji orang-orang di filmnya. Ia bahkan membuat karakter pahlawannya punya sisi sadis mendekati penjahatnya.

Leone juga meningkatkan jumlah adegan pembunuhan. Ia menambahkan lebih banyak adegan aksi dan lebih sedikit dialog. Leone bosan dengan semua percakapan di western, dan ingin mempercepatnya. Karakternya mengatakan lebih banyak justru dengan mengatakan lebih sedikit.

Spaghetti western lahir, berkembang, dan memudar dalam lingkungan produksi yang sangat komersial. Produksi film populer Italia biasanya beranggaran rendah dan berlaba rendah, maka cara termudah untuk sukses adalah meniru kesuksesan yang telah terbukti. Ketika produksi A Fistful of Dollars yang biasanya beranggaran rendah berubah menjadi kesuksesan box office yang luar biasa, industri dengan bernafsu meneruskan inovasinya.

Pada tahun-tahun berikutnya, misalnya, terjadi banjir spaghetti westerns dengan formula memasangkan karakter primer yang memiliki motif bertentangan. Contohnya, penegak hukum dan bandit, perwira militer dan penjahat, dll.

Pada 1960-an, kritikus mengakui genre Hollywood berubah dengan cepat. Film-film Sergio Leone kadang dilihat sebagai ancaman. Trilogi Dollars bukan saja awal dari siklus spaghetti western di Italia, tetapi juga mewakili awal dari invasi Italia ke sinema AS..

Christopher Frayling, dalam bukunya tentang western Italia, meyakini genre western di Hollywood memang sudah kelelahan ketika gelombang spaghetti western datang.

Spaghetti western sudah meninggalkan jejak dalam pada budaya populer, sangat memengaruhi banyak karya yang diproduksi di dalam dan di luar Italia. Sebut saja, Quentin Tarantino mengaplikasikan elemen spaghetti westerns dalam berbagai karyanya, seperti Kill Bill (dikombinasikan dengan film kung fu), Inglorious Bastards (berlatar sejarah Nazi), Django Unchained (berlatar masa perbudakan), The Hateful Eight (berlatar Wyoming pasca-Perang Saudara AS), hingga Once Upon a Time in Hollywood (tentang aktor fiksi Amerika, Rick Dalton).

Jika A Fistful of Dollars merumuskan masa depan genre spaghetti western, maka For A Few Dollars Moremenjamin masa depan genre tersebut. Tidak hanya menyaingi film pertama, tetapi juga melampauinya di box-office.

Faktanya, dari semua mahakaryanya, For A Few Dollars More adalah film terlaris Leone di pasar Italia–terlepas dari ulasannya yang biasa-biasa saja dari para kritikus Amerika yang gelagapan.

For a Few Dollars More juga menjawab pertanyaan yang diajukan A Fistful of Dollars: akankah Clint Eastwood mampu menjadi bintang internasional? Jawabannya, jelas YA.

Best Lines:

Monco: Tell me, Colonel… Were you ever young?

Col. Douglas Mortimer: Yup. And just as reckless as you. Then one day, something happened. It made life very precious to me.

Monco: What’s that?

[Mortimer shoots a glance at him]

Monco: Or is the question indiscreet?

Col. Douglas Mortimer: [pause, then] No. No, the question isn’t indiscreet. But the answer could be.

After Watch, I Listen:

Aerosmith – Back In Saddle

18WednesdaySep 2024

Posted by sonitriantoro in Film 1960-an Paling Kucintai

Leave a comment

Tags

film bagus, film lama bagus, rekomendasi film lama

Jean-Pierre Melville

1967

Crime

Jadi, seperti apa film yang keren?

Dulu, film yang secara spesifik cocok dilabeli diksi “keren”, di kepala saya ya Fight Club (1999). Provokatif, bawa ide-ide progresif, dan lakik.

Tapi itu kan penjelasan yang buruk. Setelah menonton Le Samourai, referensi saya mulai bertambah untuk mengelaborasikan apa itu “keren”.

Le Samourai merupakan salah satu contoh film yang menonjolkan style over substance—gaya bercerita lebih penting dibanding isi cerita—tapi ketika detail-detailnya diseriusi, jadinya tetap memukau.

Ujung-ujungnya, keren.

Film ini ceritanya simpel, apalagi untuk ukuran film noir atau crime yang biasanya rumit. Plotnya bisa dipetakan seperti ini saja:

1) Jef Costello (Alain Delon), seorang pembunuh bayaran, dapat klien yang minta ia membunuh seorang pemilik klub malam.

2) Jef melakukan tugasnya. Satu nyawa melayang.

3) Pembunuhan diusut, Jef dicurigai polisi.

4) Karena takut ketahuan, klien tadi menyewa perantara untuk membunuh Jef. Namun, tidak berhasil.

5) Jef balas menyelidiki kliennya

Gaya film ini mengingatkan saya pada film Drive (2011) yang dibintangi Ryan Gosling. Itu film keren juga. Khidmat dan muram. Si tokoh utama—tanpa nama—merupakan tukang kemudi bayaran yang disewa untuk membantu sebuah aksi perampokan. Ia digambarkan sebagai sosok introver, penyendiri, tanpa kawan. Maka, ketika ia kemudian dikhianati kliennya, seakan-akan seluruh dunia mengejarnya. Me versus the world.

Potret itu dalam Le Samourai sudah dipresentasikan sangat apik sejak adegan-adegan pertama. Le Samourai dibuka dengan kalimat yang dikutip dari Kitab Bushido – kitabnya para prajurit Jepang: “Tidak ada kesendirian yang lebih daripada yang dialami samurai, kecuali oleh seekor harimau di hutan.”

Jef berbaring di tempat tidur sembari merokok—betapa French New Wave-nya. Meski format gambarnya berwarna, tapi ronanya sangat redup sehingga nyaris seperti film hitam-putih.

Apakah dia sedang berkonsentrasi, bermeditasi, menunggu, atau mungkin hanya membuang-buang waktu? Dua jendela vertikal memungkinkan cahaya menembus ruangan yang gelap, menciptakan glasir di atas asap yang melayang-layang.

Jef lalu duduk. Seekor burung kenari kecil di mengepak-epakkan sayapnya dalam sangkar, menyiratkan emosi yang terkurung. Jef meraih mantel parit dan fedoranya, menerjang jalanan sore hari, hujan turun deras. Semua ornamen noir terungkap dengan lembut dalam pembukaan yang hening.

Berdiri di jalan setapak, ia menunggu sebuah mobil diparkir. Pengemudinya turun dari mobil dan pergi. Melirik diam-diam, Jef perlahan memasuki mobil, mengeluarkan banyak kunci dari mantelnya, meletakkannya di kursi samping. Ia mengambil satu per satu kunci, mencoba mana yang bisa membuat mobil itu menyala. Pekerjaan yang pasti memakan waktu, tetapi wajah Jef sama sekali tidak terlihat panik.

Keheningan awal di Le Samourai menyandingkan visual ala noir dengan karya-karya french new wave yang lebih “cerewet” seperti Breathless (Jean Renoir, 1960) dan Jules and Jim (Francois Traufaut, 1962).

Jef lalu parkir di sebuah garasi rahasia. Seorang montir mengganti pelat nomornya. Mereka bertukar catatan, Jef meminta pistol. Ini seperti bagian dari games Grand Theft Auto, masuk ke sebuah lorong parkir untuk mengubah identitas mobil—biasanya ganti warna cat—supaya tidak ketahuan polisi.

Jef lalu mengetuk pintu apartemen seorang gadis muda (Nathalie Delon) yang sedang tidur. Gadis itu bangun, menjawab dari balik pintu yang masih terkunci, “Jef?”.

Dibuka dengan sunyi dan lamban. Dialog pertama, “Jef?” tadi baru muncul pada menit 9.58. Pembukaan ini menggarisbawahi pendekatan minimalis Jean-Pierre Melville dalam mendongeng dengan kekuatan keheningan.

Ada satu komplain. Untuk premis yang sebegitu menarik, film Le Samourai dinilai terlalu dingin.

Namun, jawab Melville: “Saya suka mengambil risiko. Film saya tidak pernah mengikuti tren saat ini.”

Melville mahsyur karena film noir minimalisnya, seperti Le Doulos (1962), Le Samouraï (1967) dan Le Cercle rouge (1970). Dipengaruhi oleh Hollywood, terutama film-film gangster 1930-an dan 1940-an, ia menggunakan aksesori seperti senjata, jas parit, dan topi fedora, untuk membentuk tampilan yang khas dalam film-filmnya.

Tetapi, kendati film-film Hollywood adalah modelnya, karyanya tetap ala Prancis. Faktanya, banyak yang mengira Melville dipengaruhi oleh Robert Bresson. Melville malah mengira Bresson yang dipengaruhi olehnya. Banyak juga yang sepakat, Melville adalah nenek moyang sebenarnya dari french new wave.

Melville membuat serangkaian film yang tidak seperti film orang lain. Le Samourai merupakan salah satu yang terbaik, dapat dianggap sebagai salah satu film thriller psikologis terbesar.

Malah, bisa dikatakan, Le Samourai adalah filmnya sutradara.

Heh, maksudnya?

Iya, saya ngerti setiap film memang otoritas kekaryaan terbesarnya ada pada genggaman sutradaranya. Tapi, dalam Le Samourai, bekas tangan kerja-kerja sutradara jauh lebih kelihatan dibanding aspek teknis lainnya.

Melville tahu persis bagaimana membingkai shot. Melville juga memilih untuk tidak menggunakan skor film terlalu banyak, lebih mengandalkan kesunyian dan efek suara tipis-tipis yang memberi nuansa meresahkan. Ia pun dikenal juara untuk urusan pengeditan. Dalam sebuah wawancara, Melville mengklaim penyuntingan adalah bagian favoritnya dalam proses pembuatan film—selain menulis.

Anda tidak bisa menjadi keren dengan keinginan untuk menjadi keren. Seperti yang dikemukakan Tom Cochrane dalam The Aesthetic Value of the World, “keren” dulunya adalah sejenis properti estetika aristocrat, terasosiasi dengan kebangsawanan. Sangat sulit untuk mencapai coolness, kombinasi dari kesederhanaan dan keanggunan. Tidak peduli seberapa keras mereka berusaha, kebanyakan orang tidaklah keren.

Jadi, bagaimana Le Samourai mencapai estetika “keren”?

Penulis fiksi di berbagai lokakarya biasanya diajari menciptakan karakter yang dilengkapi cerita latar, motivasi, moralitas yang kuat. Kalian pasti mengira Le Samourai juga membutuhkan itu, terutama karena ending-nya Jef mati secara dramatis. Untuk membuat adegan itu terbayar, kita mungkin berpikir ceritanya membutuhkan banyak latar belakang tentang motif batin Jeff.

Namun, ternyata nihil. Tidak ada pengisahan latar belakang Jef Costello di Le Samourai. Paling-paling, kita hanya bisa menerka-nerka. Persiapannya yang metodis dan ritualistik untuk membunuh—pakai sarung tangan dan fedora—menunjukkan bahwa Jef pernah melakukan aksi-aksi semacam ini sebelumnya.

Melalui gerakan dan tindakannya, kita mempelajari sesuatu tentang karakter ini, tetapi kita tidak tahu motivasinya. Segalanya terungkap sangat lambat.

Adegan Jef bersama burung kenarinya, atau beberapa momen lainnya membuat kita bisa melihat sekilas kemanusiaan di balik penampilan Jef yang tanpa ekspresi. Ini cukup penting untuk mencapai estetika keren: adanya karakter yang tidak pernah gagal atau tidak pernah punya keterlibatan emosional apa pun dengan lingkungannya.

Saya menghafal banyak dialog yang menekankan bila Jeff mau membunuh hanya karena dibayar. Sangat dingin, sampai bikin menggigil:

Valérie: Why Jeff?

Jeff Costello: I’ve been paid to.

atau

Jeff Costello: Why did you say you didn’t recognize me?

Valérie: Why did you kill Martey?

Jeff Costello: I was told I’d be paid.

atau

Valérie: What did he do to you?

Jeff Costello: Nothing at all. I didn’t even know him. The first and last time I saw him was 24 hours ago.

atau

Martey, Nightclub Owner: Who are you?

Jeff Costello: Doesn’t matter.

Martey, Nightclub Owner: What do you want?

Jeff Costello: To kill you.

Dalam semesta neo-noir Le Samourai yang dibangun dengan hati-hati oleh Melville, para karakternya pun lebih suka merokok daripada bercakap-cakap. Inspirasi yang sangat Amerika pastinya.

Rupa fisik para aktor/aktris kian menambah dosis coolness film ini: Alain, Nathalie, atau Cathy Rosier adalah manusia-manusia yang rupawan.

Meskipun profilnya tidak terlalu legendaris, tapi Nathalie Delon sempat jadi ikon seks Eropa di 70-an, dikenal sebagai salah satu perempuan tercantik di dunia pada eranya. Mulanya seorang model, Nathalie berakting di Le Samourai saat masih menjalani pernikahan bersama Alain Delon. Keduanya jadi pasangan yang banyak dibicarakan saat itu. Ia juga pernah mengencani Bobby Keys, saksofon additional The Rolling Stones.

Sementara, Alain Delon lebih populer lagi. Selain jadi versi maskulin dari ikon seks Eropa 60 dan 70an, Delon lebih moncer dalam kiprah akting. Ia merupakan aktor yang definitif dari film-film Melville.

Jeff adalah karakter dengan sedikit kata. Maka, Alain menghidupkan karakter Jeff lewat akting fisik yang lebih jauh. Ia menjadi protagonis yang sempurna di jagat neo-noir yang stylish ini.

Ada trivia menarik. Dalam kariernya, Alain lebih memilih mengambil royalti distribusi film di negara-negara tertentu alih-alih dalam bentuk gaji sekali bayar. Sistem ini belum pernah dilakukan sebelumnya di Prancis, makanya dikenal sebagai “metode Delon”.

Sebenarnya ini pertaruhan bagi Alain. Taruhan itu terbayar dengan baik, karena Alain kemudian menghasilkan uang 10 kali lebih banyak daripada angka gajinya. Namun, pada tahun 1965, Delon mengklaim “tidak ada orang lain yang mencobanya sejak itu yang berhasil menghasilkan uang.”

Bagaimana dengan Rosier? Ia hanya diberi sedikit adegan—berperan sebagai Valerie, pianis yang menjadi saksi aksi keji Jeff—tapi penampilannya lumayan bisa mendominasi di hati penonton. Contoh apik yang menarik ada di akhir film, kala Jeff menodongkan pistol ke Valerie. Perempuan itu terus memainkan organ dan bertanya “Kenapa, Jef?” tanpa kelihatan takut. Rautnya cenderung sedih, atau mungkin kecewa.

Di adegan terakhir itu, kita dapat menyaksikan elemen yang diperingatkan Cochrane sebagai elemen estetika keren: ketidakpedulian terhadap bahaya.

Baik Valerie dan Costello menampilkan ketidakpedulian terhadap bahaya, meskipun ekspresi emosi halus ketika keduanya melakukan kontak mata menunjukkan mereka bukanlah robot. Reaksi mereka yang diredam amat kontras dengan reaksi bartender dan pengunjung lain yang terkejut.

Le Samourai adalah film perihal profesionalisme, juga tentang detail. Jef berfokus pada detail alibinya, mulai dari saat harus meninggalkan kediaman pacarnya, hingga saat harus secara tepat waktu berada di tempat bermain kartu. Ia selalu melakukan perhitungan.

Jeff nyaman dengan pola. Maka, ketika pola itu rusak, hidupnya perlahan terurai. Ia terpergok oleh Valeria, lalu ditangkap dan diinterogasi polisi. Ini di luar strateginya, tapi namanya profesional, Jeff mampu menjawab setiap pertanyaan.

Le Samourai punya banyak keunggulan noir Hollywood, ditambah kepekaan Eropa yang bisa tampak melodramatis. Adegan Jeff berbaring di tempat tidurnya dalam cahaya redup saja sudah membangkitkan firasat buruk. Adanya dialog bisa menganggu, dan Melvin tahu itu.

Le Samourai membuat perbedaan antara film luhur dengan nilai artistik abadi dan sekadar tiruan yang mereduksi gaya noir menjadi stereotip. Ada banyak film tentang pria tangguh, tetapi tidak ada yang membawa lebih banyak puisi dan style ke genre ini daripada Le Samourai.

Le Samourai agaknya memang mengejar estetika keren. Melville berhasil membuat karakter-karakternya mencapainya. Ini akhirnya sangat berpengaruh bagi film-film setelahnya. Wajar, banyak sekali film-film yang kita sadari membawa warisan-warisan sinematografi dan pengemasan dari Le Samourai.

Siapa saja pewarisnya? Martin Scorsese, Quentin Tarantino, Francis Ford Coppola, John Woo, David Fincher, Aki Kaurismäki, Takeshi Kitano, Georges Lautner, Nicolas Winding Refn, Luc Besson, Joel Coen, Ethan Coen dan lainnya.

Mereka semua tahu film yang keren.

Best Lines:

Martey, Nightclub Owner: Who are you?

Jeff Costello: Doesn’t matter.

Martey, Nightclub Owner: What do you want?

Jeff Costello: To kill you.

After Watch, I Listen:

Arctic Monkeys – There’d Better Be a Mirrorball

09SundayJun 2024

Posted by sonitriantoro in Film 1960-an Paling Kucintai

2 Comments

Tags

film koboi bagus, film lama bagus, film lawas bagus, film western bagus

film lama bagus – Melangit Merah (6)

Sergio Leone

1968

Western

Once upon a time… hiduplah seorang anak laki-laki bernama Sergio Leone.

Sebagaimana anak laki-laki lain, Leone sering pergi ke bioskop, nonton film koboi. Sayangnya, di Italia, aktor-aktor seperti John Wayne dan Gary Cooper di layar tampil dengan sulih suara yang buruk, sehingga ocehan berbahasa Italia tidak pernah sesuai dengan gerakan bibir.

Yah, tapi Leone tetap hepi. Seperti kita tetap hepi nonton Warkop DKI meski banyak kena sensor.

Beranjak dewasa, Leone menunaikan cita-citanya sebagai sutradara film. Karena Hollywood mulai meninggalkan western, ia berangkat ke Spanyol, mengerjakan film westernnya sendiri memakai aktor-aktris yang dibuang dari televisi AS.

Itulah, awal kisah saya sendiri bisa menikmati film western.

Western di masa emasnya biasanya diasosiasikan dengan film-film John Ford dan John Wayne. Beberapa orang pasti masih suka menonton karya mereka kembali, tetapi keusangannya terasa lebih jelas sekarang. Pola pikir sejarah sudah berubah. Beberapa aspek untuk film-film itu termasuk: garis yang tebal antara yang baik dan yang jahat, demonisasi “liyan”—biasanya suku Indian–dan peran kaum perempuan seringkali hanya hadir sebagai objek “hadiah” yang kudu dimenangkan.

Untungnya, di ujung eranya, kita punya spaghetti western. Ini genre dari orang-orang Italia yang mengadopsi karya western klasik, mengangkat cerita yang lebih menarik, lebih berani, lebih melibatkan karakter wanita dan kaum kulit berwarna secara lebih baik. Visi mereka tentang western seringkali malah lebih realistis daripada kebanyakan orang Amerika sebelumnya.

Di puncak genre spaghetti western inilah film-film Sergio Leone berjaya. Yang paling dikenal, pasti trilogi Dollars yang semuanya dibintangi Clint Eastwood, termasuk The Good, The Bad, and The Ugly (1966). Namun, bagi sebagian orang, puncak pencapaian artistiknya justru ada di Once Upon a Time in the West.

Setelah menyutradarai The Good, The Bad and The Ugly, Leone sebenarnya sempat memutuskan pensiun dari “skena” western. Ia merasa sudah menyampaikan semua yang ingin disampaikannya lewat genre itu, tak tertandingi sutradara western lain. Namun, akhirnya Leone tetap menerima tawaran dari Paramount Pictures untuk membuat film western lagi, dengan keberhasilan meyakinkan Henry Fonda untuk ikut, plus anggaran lebih besar.

Maka, digaraplah Once Upon a Time in the West. Film ini merupakan bagian pertama dari trilogi Once Upon a Time—diikuti Duck, You Sucker! (1971) dan Once Upon a Time in America (1984), meskipun ketiganya tidak punya benang merah karakter yang sama.

Lain dengan film-film dalam trilogi Dollars yang semuanya hanya syuting di Spanyol, Once Upon a Time in the West direkam beberapa adegannya di AS, tepatnya di Monument Valley yang ikonik—salah satu lokasi favorit John Ford. Menjadikannya karya spaghetti western pertama yang diambil gambarnya di Amerika Serikat.

Once Upon a Time in the West muncul seperti mimpi tentang mitologi old west Amerika, didukung banyak referensi gaya film-film western ikonik. Apa yang langsung membedakan film ini dari awal adalah variasi gaya tuturnya, lebih kaya dari yang dilakukan Leone di film-film sebelumnya. Adegan pembukanya, misalnya, adalah segmen berdurasi 8 menit di stasiun kereta, hampir tanpa dialog.

Tanpa musik skor, satu-satunya suara yang terdengar hanya suara stasiun itu sendiri (diegetic): kincir angin, dengung lalat, pintu membuka, tetesan air. Adegan digerakkan dengan lambat dan tegang, diikuti sekilas pandang salah satu karakter utama yang tengah memainkan instrumen khasnya: Harmonika (Charles Bronson)—sekaligus menjadi nama karakternya.

Beberapa menit kemudian, Anda segera mendengar musik skor pertama dari si ahlinya, Ennio Morricone. Musik itu muncul menemani adegan kedatangan Jill McBain (Claudia Cardinale) dari New Orleans.

Adegan-adegan awal ini merangkum old west itu sendiri, tempat yang bagi banyak orang mewakili awal dari kehidupan baru.

Setelah sekuens pembuka ini, kisah besar Once Upon a Time in the West mulai terurai. Keempat karakter penting diperkenalkan, masing-masing diikat dalam benang merah: calon suami dan anak-anak Jill dibantai oleh Frank (Henry Fonda) dan antek-anteknya, yang kemudian tuduhannya malah dilempar ke Cheyenne (Jason Robarts). Harmonika, di sisi lain, bertekad untuk menemui Frank karena alasan yang misterius. Seiring film berlanjut, kita bisa menemukan apa yang diinginkan oleh masing-masing karakter ini, dan bagaimana tiap pilihan pada akhirnya menentukan nasib mereka.

Meskipun karakter trio Once Upon a Time in the West menurut saya tak sekuat trio di The Good, the Bad and the Ugly, cara ketiganya disatukan dalam akhir cerita adalah bagian mengagumkan.

Dalam persiapan film ini, Leone menugaskan Dario Argento dan Bernardo Bertolucci—kritikus film yang menjadi penulis skenario—untuk menonton banyak-banyak film western klasik. Hasilnya adalah kreasi mereka sendiri, berdasarkan referensi dari film-film tersebut. Menurut sejarawan film bernama Christopher Frayling, Once Upon a Time in the West “mengutip” sebanyak 30 referensi film western klasik.

Beberapa adegan itu diolah sebagai wujud penghormatan (tribute), seperti adegan pemakaman yang diambil dari film Shane (1953). Sementara, High Noon (1952) menyumbang ide adegan melibatkan karakter yang menunggu kedatangan kereta api. Bukannya berakhir menjadi ajang duplikasi, karya Leone ini mengambil kiasan-kiasan western untuk ditumbangkan, menciptakan sebuah mesin baru yang seluruhnya terdiri dari komponen-komponen yang dapat dikenali.

Cara signifikan Leone menumbangkan ekspektasi dalam Once Upon a Time in the West adalah dengan penggambaran karakternya. Ini berangkat dari tradisi spaghetti western menolak menempatkan karakter pahlawan dan penjahat dalam kategori enteng dihitam-putihkan.

Ini sudah diterapkan sedari casting. Henry Fonda, misalnya, dikenal sebelumnya sebagai salah satu langganan aktor pahlawan, termasuk di film-filmnya John Ford—semacam Deddy Mizwar mungkin kalau di Indonesia. Namun, ia di film ini berperan sebagai penjahat utamanya. Wajahnya masih tampak ramah dan berperasaan, tapi tindakannya bicara sebaliknya.

Fonda awalnya menolak peran Frank. Leone harus terbang ke AS dan menemuinya langsung untuk merayu. Bujukannya seperti ini: “Bayangkan ini: kamera menyorot seorang pria bersenjata yang menarik senapannya dan menembak seorang anak yang sedang berlari. Kamera mengarah ke wajah pria itu dan … itu adalah Henry Fonda!”

Sukses.

Lain lagi Jason Robards sebagai Cheyenne. Karakter ini juga kepala geng penjahat, diperkenalkan di awal film sebagai tahanan yang melarikan diri karena melakukan kejahatan besar. Namun, Cheyenne perlahan digambarkan di Once Upon a Time in the West sebagai pria yang cukup menyenangkan, hangat, sudi berkorban, tidak sosiopat seperti Frank.

Bagaimana dengan si Harmonika? Yang ini lebih sejalan dengan karakter-karakter anti-hero ala Clint Eastwood dari trilogi Dollars Trilogy. Konon, Eastwood memang tadinya ditawari peran ini, tetapi menolak. Namun, Bronson sukses menampilkan kemachoan yang terkendali dalam raut wajah dan aksi-aksi tangkasnya. Leone bahkan menyebut Bronson “aktor terhebat yang pernah bekerja sama dengan saya”.

Terakhir, ada Jill. Karakter ini menurut saya cenderung lebih krusial dibanding tiga lainnya. Karakter Jill berdiri sebagai salah satu contoh paling menonjol dari perumpamaan “pelacur berhati emas”. Jill jauh dari standar karakter perempuan di hampir semua film western sebelumnya: gadis dalam kesusahan yang terus-menerus butuh pertolongan. Karakter Jill memang akhirnya juga dibantu oleh karakter-karakter utama prianya, tapi setidaknya ia punya porsi kemunculan lebih banyak, juga kelihatan tidak mau membiarkan orang lain mengendalikan nasibnya.

Cardinale selaku pemerannya memang sudah menjadi salah satu aktris paling terkenal di Italia sebelumnya, termasuk dari aktingnya di Girl With a Suitcase (1961), The Leopard (1963), dan (1963) Penulis biografi Leone, Robert C. Cumbow menggambarkan perannya sebagai Jill “terukir secara permanen dalam sejarah sinematik”

“Penampilan ala dewi seksnya digabung dengan asosiasi ikonografinya yang lebih mistis. memudahkan kemajuan Jill dari seorang pelacur menjadi pembangun kota, dari pelacur menjadi ibu bumi, dari pendosa menjadi simbol Amerika.”

Jangan lupakan juga musiknya, dibuat oleh komposer Ennio Morricone, kolaborator tetap Leone. Seperti dalam The Good, The Bad and The Ugly, musik dalam Once Upon a Time in the West bersifat menghantui dan berkontribusi pada kemegahan filmnya. Skor dalam film ini cukup ikonik dan sering dirayakan sebagai salah satu yang terbaik dalam kancah western, dijadikan sampel dalam berbagai karya lain seperti The Sopranos, Phantom Thread, dan Pirates of the Caribbean: Dead Man’s Chest.

Leone seakan sudah menjadi Quentin Tarantino kala sutradara Pulp Fiction (1994) itu masih bercelana pendek. Tidak sulit melihat pengaruh yang menyebar dari Once Upon a Time in the West. Tarantino jelas-jelas mengidolakan Leone dan spaghetti western, terang benderang dalam Django Unchained dan The Hateful Eight. Pengaruh Once Upon a Time in the West juga dapat dilihat di luar western, misalnya dalam serial Breaking Bad karya Vince Gilligan dan prekuelnya, Better Call Saul.

Leone mungkin masih memasukkan beberapa klise, seperti jangkrik yang ketakutan mengisyaratkan bahaya, baling-baling cuaca yang berderit, tapi hanya sedikit yang bisa menandingi penguasaannya atas interaksi suara dan keheningan, humor dan ketegangan. Ia juga berhasil menampilkan beberapa performa terbaik dalam karier pemerannya, terutama Henry Fonda.

film lama bagus – Melangit Merah (7)

Lalu, apa keluhan saya? Once Upon a Time in the West memang lamban.

Sementara film-film dalam trilogi Dollars lebih bertempo cepat, Once Upon a Time in the West membawa ritme yang lebih laun dan tema yang muram. The Good, The Bad, and The Ugly berdurasi tiga jam, tapi Leone tetap sadar akan kemungkinan Once Upon a Time in the West terasa lebih melelahkan. Film ini menampilkan adegan-adegan yang panjang dan sabar, dengan dialog yang minimum. Kadang, suasananya dipecah oleh adegan kekerasan yang singkat dan tiba-tiba.

Leone adalah sutradara yang terpesona pada kemungkinan tak terbatas dalam sebuah pertarungan. Ia suka mengeksplorasi momen-momen krusial sebelum koboi mengeluarkan senjata mereka, bermain adegan ”yang kalah cepat tekan pelatuk berarti mati”. Ia jauh lebih tertarik pada ritual yang mendahului kekerasan daripada kekerasannya itu sendiri. Obsesi Leone terhadap detik-detik jelang tembakan itu mencapai puncak artistiknya dalam Once Upon a Time in the West. Dibutuhkan sutradara berbakat untuk membuat sekuen aksi yang seru, tapi cuma jenius yang sanggup membuat kebosanan pun sama memikatnya.

Ada satu pengalaman yang sering diceritakan sendiri oleh Leone. Suatu hari, ia mengunjungi bioskop di Paris yang sedang menayangkan Once Upon a Time in the West. Di sana, ia dikelilingi penggemar yang meminta tanda tangan, serta seorang petugas proyektor yang mengoperasikan pemutaran film itu. Kata Leone, petugas itu tiba-tiba berujar kepadanya, “Aku akan membunuhmu! Film yang sama berulang kali selama dua tahun! Dan (film) itu sangat LAMBAT!”

Sebenarnya, kelambanan itu juga mendukung Once Upon a Time In West menampilkan kekayaan detail yang memproyeksikan cita rasa kehidupan di old west.

Sebenarnya old west, atau wild west itu apa sih?

Istilah-istilah itu meliputi geografi, sejarah, cerita rakyat, dan budaya yang terkait dengan gelombang ekspansi di daratan Amerika Utara. Dimulai dengan pemukiman kolonial Eropa pada awal abad ke-17, diakhiri dengan pengakuan beberapa wilayah terakhir yang berdekatan sebagai negara bagian pada tahun 1912.

Era migrasi dan pemukiman besar-besaran ini terutama didorong Presiden Thomas Jefferson setelah peristiwa Louisiana Purchase (Pembelian Louisiana) yang memunculkan sikap ekspansionis. Legenda, sejarah, dan cerita rakyat dalam periode ini telah tertanam dalam budaya Amerika Serikat, sehingga old west, dan serba-serbi western luamyan menentukan identitas nasional Amerika.

Periode inti old west sering dikutip sejarawan terjadi antara akhir Perang Saudara Amerika pada tahun 1865 dan sensus AS tahun 1890. Periode ini mencakup peristiwa sejarah seperti konflik kekerasan yang timbul dari perambahan peradaban ke tanah frontier—istilah untuk daerah yang belum didiami di luar pemukiman orang Amerika, di mana tanah gratis dan kesempatan luas tersedia—pemindahan dan asimilasi penduduk asli, atau upaya penegakan hukum terhadap penjahat.

Menurut ahli teori Frederick Jackson Turner, frontier adalah tempat yang sangat menentukan peradaban Amerika: “Frontier,” tegasnya, “mempromosikan pembentukan kebangsaan gabungan bagi rakyat Amerika.”

Perhatian populer yang sangat besar difokuskan pada Amerika Serikat bagian Barat (terutama Barat Daya) pada paruh kedua abad ke-19 dan awal abad ke-20, dari tahun 1850-an hingga 1910-an. Media semacam biasanya membesar-besarkan romansa, anarki, dan kekerasan pada masa itu. Ini mengilhami genre film western, bersama dengan acara televisi, novel, buku komik, video game, atau mainan anak-anak.

Dalam “Frontier Thesis” (1893), Turner berteori bahwa frontier melahirkan proses-proses yang mengubah orang Eropa menjadi orang baru, orang Amerika, yang nilai-nilainya terfokus pada kesetaraan, demokrasi, dan optimisme, serta individualisme, kemandirian, dan bahkan kekerasan. Ini adalah kisah-kisah penaklukan, tetapi ada juga kisah tentang kelangsungan hidup, kegigihan, dan penggabungan orang-orang dan budaya yang melahirkan dan melanjutkan kehidupan di Amerika.

Sejarawan Waddy W. Moore menggunakan catatan pengadilan untuk menunjukkan bahwa di perbatasan Arkansas yang jarang penduduknya, pelanggaran hukum adalah hal biasa. Ia membedakan dua jenis kejahatan: tidak profesional (duel koboi, kejahatan karena mabuk-mabukan, menjual wiski kepada Pribumi, menebang pohon di tanah federal) dan profesional (perampokan jalan raya, pemalsuan). Penjahat menemukan banyak kesempatan untuk merampok, sementara beberapa penegak hukum yang kekurangan dana mengalami kesulitan besar untuk mendeteksi, menangkap, menahan, dan menghukum pelaku kesalahan.

Ketika ada penjahat dihukum, sebenarnya hukumannya berat. Selain sheriff, ada berbagai lembaga penegak hukum lainnya di seluruh perbatasan Amerika, seperti Texas Rangers. Para penegak hukum ini tidak hanya berperan dalam menjaga perdamaian, tetapi juga dalam melindungi penduduk setempat dari ancaman suku pribumi dan Meksiko. Penegakan hukum cenderung lebih ketat di kota daripada di pedesaan. Penegakan hukum lebih menekankan menjaga stabilitas daripada pertempuran bersenjata, memusatkan perhatian pada melucuti senjata para koboi yang melanggar dekrit pengendalian senjata dan berurusan dengan pelanggaran mencolok terhadap peraturan perjudian dan prostitusi.

Musuhnya biasanya adalah bandit-bandit, sebagian sangat ternama, termasuk James–Younger Gang, Billy the Kid, Dalton Gang, Black Bart, Butch Cassidy, dan ratusan lainnya yang mengincar bank, kereta api, kereta pos, dan bahkan angkutan pemerintah bersenjata.

Beberapa penjahat, seperti Jesse James, adalah hasil dari kekerasan Perang Saudara. Lainnya menjadi penjahat selama masa-masa sulit di industri ternak. Banyak orang aneh dan gelandangan yang berkeliaran menghindari hukum. Untuk berlindung dari hukum, penjahat akan menggunakan keuntungan dari wilayah terbuka, jalur jarak jauh, dan tanah tandus untuk bersembunyi. Sementara beberapa pemukiman dan kota di perbatasan juga menampung penjahat.

Bandit adalah masalah besar di California setelah tahun 1849, karena ribuan pemuda yang terlepas dari keluarga atau komunitas pindah ke tanah yang hanya punya sedikit mekanisme penegakan hukum. Warga sipil kadang juga angkat senjata untuk membela diri di old west.

Bagaimanapun, sendi-sendi dari mitos dan realitas western adalah koboi Amerika. Banyak koboi merupakan veteran Perang Saudara, mereka termasuk orang kulit hitam, Hispanik, penduduk asli Amerika, dan imigran dari banyak negeri. Semua pakaian koboi yang khas—sepatu bot, pelana, topi, celana, slickers, bandana, sarung tangan, dan kemeja tanpa kerah—dirancang untuk perlindungan dan kenyamanan. Busana paling abadi yang diadaptasi dari koboi, populer hampir di seluruh dunia saat ini, adalah jins biru, awalnya dibuat oleh Levi Strauss untuk penambang pada tahun 1850.

Kisah-kisah koboi jadi sangat populer di Jerman dan negara-negara Eropa lainnya, yang memproduksi novel dan film tentang frontier di Amerika. Citra wild west penuh baku tembak yang tak terhitung jumlahnya adalah mitos yang didasarkan pada pernyataan yang dibesar-besarkan berulang kali. Baku tembak yang sebenarnya di old west lebih bersifat episodik daripada kriminalitas keseharian. Dan ketika itu terjadi, penyebabnya bervariasi. Ini bisa perseteruan yang sudah berlangsung lama, atau antara bandit dan penegak hukum. Meskipun sebagian besar diromantisasi, ada contoh “quick draw” yang memang pernah terjadi.

Konflik dalam Once Upon a Time In West bukan sekadar balas dendam karena perempuan atau pembunuhan—yang paling sering jadi isian konflik di film-film western—tapi isu perebutan lahan. Kemajuan pembangunan yang terjadi akibat ekspansionis, dalam film ini salah satunya adalah pembangunan rel kereta api, melahirkan konflik liar bersenjata dan beragam pelanggaran hukum.

Bertempat di gurun Arizona pada abad ke-19, plot Once Upon a Time in the West berkisar pada pembangunan jalur kereta api yang dibangun melintasi dataran ke pantai pasifik oleh mogul transportasi Mr Morton (Gabriele Ferzetti). Tujuan Frank sebagai mitranya adalah meneror semua orang yang menentang tujuan ekspansionis bos industrialisnya, termasuk Jill.

Hari ini, industri sinema tak lagi haus akan film-film western. Tetapi, Once Upon a Time in the West masih terasa relevan. Mungkin itu karena dunia belum benar-benar berubah dari keadaannya.

Tidak ada lagi koboi berkuda, tapi banyak yang ber-Pajero.

Best Lines:

Cheyenne: You know, Jill, you remind me of my mother. She was the biggest whore in Alameda and the finest woman that ever lived. Whoever my father was – for an hour or for a month – he must have been a happy man.

After Watch, I Listen:

Muse – Knight of Cydonia

12SundayMay 2024

Posted by sonitriantoro in Film 1960-an Paling Kucintai

Leave a comment

Tags

film 60-an rekomendasi, film hitam putih bagus, film lama bagus

William Wyler

1961

Drama

Sebetulnya, saya jarang menyukai film bertema LGBT. Mungkin perspektif cis-heteroseksual menyulitkan saya berempati terhadap pendalaman karakter dan cerita di dalamnya. Saya mencoba, misalnya, menonton berulang Moonlight (2016) atau Call Me By Your Name (2017). Tetap saja, gagal, status disconnected muncul di kepala saya.

Dulu saya bisa menikmati film Indonesia legendaris, Arisan! (2003) garapan Nia Dinata. Tapi sepertinya ketertarikan itu lahir justru berkat kontroversinya. Yak, ingusan SMP pertama kalinya menghadapi tayangan visual laki-laki naksir laki-laki—apalagi diperankan Tora Sudiro yang sedang kondang-kondangnya—tentu rasanya hati ini seperti dijambak. Yah, setidaknya, Arisan! setahap membuka sedikit wawasan hijau saya bahwa karakter gay tidak harus diperankan Olga Syahputra atau Aming.

Blue is The Warmest Color (2013)? Agak mendingan dibanding yang lainnya. Saya lebih bisa menikmati film LGBT dengan karakter utama lesbian dibanding gay—tentu juga dalam konteks film porno, tapi kita sedang tidak bicara itu.

Analisis sepelenya: saya lebih nyaman melihat perempuan wokwokwok

Sebelum sampai ke mana-mana imajinasi ini, perlu diingatkan bahwa kita sedang mau bicara soal The Children’s Hour, salah satu film populer pertama yang mengangkat kisah lesbian secara gamblang. Dan ternyata saya suka.

Disclaimer dulu. Pertama, ini film tentang lesbian yang disutradarai laki-laki. Dalam perspektif kritis hari ini, tentu jadi persoalan. Legitimasinya biasanya akan dipertanyakan.

Tapi toh artikel ini juga ditulis laki-laki, jadi sekalian saja compang-campingnya. Maka kalau isinya mau dianggap tahi angin, tidak usah dibaca, ya sudah. Jangan buang waktumu.

.

.

Teruntuk yang keras kepala, oke mari.

Kita mulai dengan kilas singkat masuknya topik LGBT ke lanskap sinema dunia, terutama Hollywood.

Adegan colongan pertama yang menunjukan homoseksualitas dalam sinema ada di tahun 1895, ketika dua pria ditampilkan menari bersama dalam film William Kennedy Dickson berjudul The Dickson Experimental Sound Film. Di film ini, para pria itu tidak dilihat sebagai queer atau bahkan flamboyan, tetapi hanya bertingkah aneh. Namun, kritikus film Parker Tyler menyatakan, adegan itu sudah cukup mengejutkan penonton karena mempertontonkan sesuatu yang tidak sesuai dengan perilaku laki-laki konvensional.

Memasuki 1920-an, seringkali karakter laki-laki yang dimaksudkan untuk diidentifikasi sebagai gay adalah karakter yang “melambai”. Istilah “sissy“—padanan “banci”—pun menjadi populer. Karena suara sissy biasanya bernada tinggi, karakter seperti ini justru mudah beralih dari era film bisu (silent film) ke film berbicara (talkies) karena karakteristik khas itu dapat dimanfaatkan. Karakter laki-laki gay digambarkan punya pekerjaan stereotip feminin, seperti penjahit, penata rambut, atau koreografer. Ini memperkuat stereotip bahwa laki-laki gay terbatas pada karier tertentu. Sementara karakter lesbian dikaitkan dengan busana maskulin dan suara vocal yang berat.

Ciuman erotis pertama antara jenis kelamin yang sama dalam film ada di Manslaughter (1922). Marlene Dietrich adalah aktris kondang pertama yang mencium wanita lain di layar—dalam Morocco (1930). Selama periode Great Depression pada dekade 1930-an, penonton bioskop berkurang secara signifikan. Para filmmaker sengaja memproduksi film dengan tema yang kontroversial untuk mendorong orang kembali ke bioskop, termasuk prostitusi, kekerasan, hingga menghadirkan “banci”.

Nah, lantaran dianggap mengancam moral masyarakat AS, regulasi sensor pun kemudian hadir. Sebenarnya Motion Picture Production Code, atau “Hays Code”, dibuat supaya Hollywood justru tidak kalang kabut jika film-filmnya keseringan diboikot Gereja Katolik atau kelompok-kelompok protestan fundamentalis yang marah-marah dengan film-film yang dianggap berdosa.

Hays Code mulai membatasi referensi apa pun tentang homoseksualitas. Contohnya, karakter Joel Cairo dalam The Maltese Falcon (1941). Pada novel aslinya, Cairo jelas seorang gay, tapi dalam versi film, homoseksualitasnya dibuat samar.

Korban lain, ya drama panggung The Children’s Hour oleh Lillian Hellman. Alur ceritanya tentang dua ibu guru yang dituduh lesbian. Naskah drama ini dirilis sebagai film pada tahun 1936 berjudul These Three yang disutradarai oleh William Wyler. Namun, versi filmnya mengubah ceritanya secara signifikan. Isinya jadi cinta segitiga heteroseksual antara dua wanita dan satu pria.

Kalaupun mau muncul, karakter gay di layar saat itu harus direpresentasikan secara negatif atau diklasifikasikan sebagai penyakit mental. Itu kenapa selama Perang Dunia Kedua dan Perang Dingin, Hollywood terus menggambarkan pria dan wanita gay sebagai sadis, psikopat, atau penjahat anti-sosial. Ini akhirnya membuat potret LGBT menjadi terkubur dalam karakter-karakter banci yang artifisial.

Regulasi ini baru secara bertahap diliberalisasi selama dekade 1950-an, sampai digantikan oleh sistem klasifikasi terbaru yang ditetapkan oleh Motion Picture Association of America pada tahun 1968. Pasalnya, secara budaya, konsumen AS semakin kecil kemungkinannya untuk memboikot sebuah film atas permintaan ormas-ormas agama. Film dengan konten yang “tidak pantas” tidak lagi perlu persetujuan dari Hollywood Production Code atau kelompok agama. Akibatnya, Hollywood secara bertahap menjadi lebih bersedia untuk mengabaikan sensor guna bersaing dengan televisi.

Selama dekade 60-an, karakter gay dalam film-film Hollywood lebih terang-terangan digambarkan. Yang terbesar, Lawrence of Arabia (1962), dianggap revolusioner karena beberapa alasan, termasuk nekat menggambarkan karakter yang begitu tersirat gay. Meskipun orientasi seksual T.E. Lawrence tetap ambigu, sutradara David Lean meminta Peter O’Toole berakting dalam versi pahlawan gurun yang gay. Lean juga menyiratkan ada hubungan khusus antara Lawrence dan rekannya Sherif Ali, yang diperankan oleh Omar Sharif. Bertahun-tahun kemudian, ketika ditanya tentang unsur homoseksualitas dalam Lawrence of Arabia, Lean berkomentar, “Secara keseluruhan, Lawrence sangat, jika tidak sepenuhnya, homoseksual. Kami pikir kami sangat berani saat itu: Lawrence dan Omar …”

Selanjutnya, film-film bertopik LGBT rilis lebih percaya diri. The Best Man (1964) adalah film AS pertama yang menggunakan kata “homoseksual” di dalamnya. Lalu, Brock Peters memerankan salah satu karakter homoseksual pertama dalam film AS lewat The Pawnbroker pada tahun 1964.

Wyler lalu juga memproduksi ulang naskah drama panggung The Children’s Hour. Kali ini tanpa kompromi, betulan menampilkan karakter lesbian. Selain membuat Martha gantung diri—bukan bunuh diri pakai pistol, seperti yang ditulis Hellman—Wyler mempertahankan sebagian besar isi dialognya tetap sama dengan naskah drama panggungnya.

Oke, itu sejarahnya. Tapi bagaimana kompleksitas film-film itu di era 60-an? Jika Anda mau membuat film tentang queer hari ini, musuhnya bukan cuma sensor, tapi juga kritikus. Apakah film Anda memperkuat stereotip negatif mereka? Apakah bisa secara akurat menampung representasi komunitas LGBT yang beragam?

Tapi masa itu adalah 60-an.

Sebagai salah satu penggambaran tahap paling awal tentang lesbianisme, drama The Children’s Hour selama beberapa dekade menghasilkan ketidaksepakatan kritis mengenai sikap karya tersebut terhadap seksualitas kaum LGBT.

Kontroversi ini tidak pernah diselesaikan oleh Hellman sendiri, yang beberapa kali mengubah versi panggungnya, juga membuat pernyataan yang beragam dan terkadang bertentangan tentang isinya. Ia bahkan rela membantu produksi versi film These Three yang menghapus tema lesbian seluruhnya.

Drama Hellman terinspirasi kisah nyata tahun 1810 dari dua guru sekolah Skotlandia, Miss Marianne Woods dan Miss Jane Pirie, yang hidupnya hancur ketika salah satu siswa menuduh mereka terlibat dalam hubungan seksual. Tetapi dalam persidangan kasus itu, mereka akhirnya menang. Sayangnya, spill yang tidak pernah terbukti itu gagal mengubah kehancuran yang menimpa hidup mereka selanjutnya.

Penulis skenario dan dramawan, Paddy Chayefsky menganggap The Children’s Hour sebagai salah satu drama yang paling terstruktur dengan hati-hati yang pernah ditulis. Beberapa kritikus lain menganggap karya ini sebagai “melodrama”, karena masing-masing karakter terbagi hitam putih–benar-benar baik atau benar-benar jahat. Meskipun, Hellman menjawab dalam sebuah wawancara tahun 1965, tidak ada karakternya yang benar-benar baik atau buruk dalam The Children’s Hour.

Dalam versi film The Children’s Hour , Karen (Audrey Hepburn) berteman sejak kuliah dengan Martha (Shirley MacLaine). Keduanya lalu merintis sebuah sekolah kecil khusus untuk anak perempuan. Seorang murid yang nakal, Little Mary Tilford (Karen Balkin), sengaja menguping Karen dan Martha yang tengah berdebat suatu malam, kebetulan tentang rencana Karen menikahi seorang dokter bernama Joseph “Joe” Cardin (James Garner). Sementara itu, teman sekamar Mary “secara tidak sengaja” mendengar rekan guru lain menyebut relasi Martha kepada Karen sebagai sesuatu yang “unnatural.”

Mary yang kelakuannya betulan seperti anak setan ini lalu cepu ke neneknya, Mrs Tilford (Fay Bainter)—yang punya pengaruh besar terhadap sekolah itu. Dalam waktu singkat, hoaks bahwa kedua gurunya lesbian menyebar luas. Para orang tua murid di sana pun ketakutan. Sekolah Karen dan Martha terpaksa ditutup.

Seluruh cobaan ini mengguncang Karen dan Martha yang malang. Saat ini tentu penonton fokus pada “bagaimana caranya sepasang ibu guru ini mampu membuktikan bahwa berita itu bohong.”

Namun, ternyata alur cerita tidak ke sana. Derita lain mengganggu Martha. Ia justru menyadari bahwa kebohongan itu benar, bahwa ia telah jatuh cinta dengan Karen selama ini.

Bahwasanya, ia lesbian.

Ini adalah adegan yang luar biasa. Pertama, penonton Hollywood akhirnya melihat seseorang yang benar-benar muncul di layar, mengaku dirinya lesbian, merasakan cinta yang tak berani dilabelinya. Dalam film ini tidak ada penyebutan kata “gay”, “lesbian”, “queer”, atau bahkan “LGBTQQIAAP” atau “Boti” dll. Tetapi kita semua tahu apa itu.

Ini sebenarnya kisah cinta tak berbalas yang memanusiakan Martha. Setelah Mrs. Tilford akhirnya datang untuk meminta maaf—ironis, ia mengaku salah justru ketika kesalahan itu menjelma kebenaran, setelah Karen tidak menghindari dan justru meminta Martha tetap pergi bersamanya, Martha ternyata tetap merasa bersalah dengan dirinya. Ia gantung diri. Ia gagal hidup bersama kebenaran.

Banyak kritik menghujani film ini—kecuali akting Hepburn yang dianggap jauh lebih bagus dari MacLaine. Kebanyakan mempersoalkan adegan coming out-nya Martha itu. Tak ada yang menampik, itu adalah adegan terpenting dalam The Children’s Hour. Sangat emosional ketika Martha, bingung dan putus asa, berliku-liku untuk menyelesaikan pengakuannya:

“Dengarkan aku! Aku mencintaimu seperti yang mereka katakan!”

“Oh, saya merasa sangat sakit dan kotor, saya tidak tahan lagi!”

Bahasa pengungkapan semacam ini yang dianggap terlalu membenarkan retorika homoseksualitas sebagai penyakit amoral atau penyakit mental. Dan karena itu sangat mengganggu untuk didengar.

Betapa marahnya Martha karena rasa bersalah yang besar, sampai membenci dirinya sendiri. Ia mengungkapkannya seolah-olah ia melakukan kesalahan yang tidak ada pembenarannya sama sekali.

Dan Karen, merespons dengan cara yang memvalidasi kepanikan Martha. Ia mencoba meyakinkan bahwa Martha hanya “lelah,” ia tidak “bersalah” menjadi lesbian karena memang perasaan itu pasti salah. Karen tidak menyangkal atau memberikan kenyamanan ketika Martha menjerit merasa sangat sakit dan kotor.

Feminis dan aktivis queer Susie Bright menyepakati betapa buruknya adegan itu. Banyak orang queer masih tinggal di lingkungan yang konsisten menyebut mereka “sakit dan kotor”. Masih merupakan sebuah bukit besar untuk didaki supaya mereka mendapat penerimaan tidak hanya dari orang lain – tetapi juga dari diri mereka sendiri.

Akhirnya, The Children’s Hour dinilai melahirkan kesimpulan: menjadi lesbian adalah nasib yang lebih buruk daripada kematian.

Sebenarnya wajar bila penggambarannya masih jauh dari progresifnya film-film LGBT hari ini. MacLaine, dalam film dokumenter The Celluloid Closet (1995), mengatakan, tidak seorang pun di lokasi syuting membahas perihal homoseksualitas itu. Bahkan, Hepburn dan MacLaine tak mendiskusikan tentang LGBT sama sekali. “Kami berada dalam pola pikir tidak memahami apa yang pada dasarnya kami lakukan. Hari-hari ini , akan ada protes yang luar biasa, juga seharusnya ada. Mengapa Martha menangis dan berkata, ‘Ya Tuhan, ada apa denganku, aku sangat kotor, aku telah menghancurkanmu,” ujar MacLaine. “Kedalaman subjek ini tidak ada dalam leksikon periode latihan kami. Audrey dan saya tidak pernah membicarakan hal ini. ”

Maka mau berharap apa? Penggambaran positif dari gaya hidup homoseksual masih jauh berkilo-kilo meter.

Tapi bagi saya, justru karena ketabuan pada eranya itulah, The Children’s Hour perlu dihargai dalam konteks dobrakan di eranya.

Langkah yang paling penting dilakukan Wyler adalah membingkai guru sebagai korban, dan penilaian masyarakat sebagai sesuatu yang keliru. Penonton jelas dimaksudkan untuk bersimpati dengan Martha dan Karen. Pengucilan penuh kebencian terhadap mereka oleh publik digambarkan sebagai tindakan keji. Sikap ini muncul di hadapan banyak dugaan umum di AS pada saat itu, muncul pada tahun yang sama dengan propaganda populer Boys Beware yang mempromosikan homofobia dan menyamakan homoseksualitas dengan pedofilia.

Wyler membuat pilihan progresif yang bernyali. Ada beberapa keberanian dalam bahasa film yang digunakannya, terutama dalam menggambarkan tindak tanduk homofobia. Wyler tidak merasa kaum gay atau lesbian pantas untuk dianiaya. Ia memperlakukan karakter-karakternya sebagai orang yang rentan. Bagi tahun 1961, ini sudah lompatan besar.

Saya pikir, The Children’s Hour melakukan yang terbaik di era peluncurannya. Sekarang ada banyak film yang mungkin lebih matang membahas masalah LGBT. Mereka tidak harus bekerja di dalam atau di sekitar ideologi homofobia, dan mereka tidak harus berakhir dengan tragedi. Tapi The Children’s Hour berkontribusi untuk itu. Setidaknya, menyoroti efek menghancurkan dari homofobia.

Best Lines:

Karen: Say it now. Ask it now!

Joe: I have nothing to ask.

All right, is it? Was it ever?

Karen: No. No, Martha and I never touched each other.

It’s all right, darling. I’m glad you asked.

Joe: My God! What’s happened to me?

After Watch, I Listen: Fleetwood Mac – The Dreams

02TuesdayApr 2024

Posted by sonitriantoro in Film 1960-an Paling Kucintai

Leave a comment

Tags

film klasik, film lama bagus, filmlawas, filmromanceklasik

Mike Nichols

1967

Romance

Berapa orang yang seperti Ben (Dustin Hoffman) di usia 20-an awal? Tidak tahu apa yang akan dilakukan selepas lulus kuliah. Didera kecemasan tentang bagaimana mengejar kehidupan yang bermakna. Apa yang ia inginkan? Mereka yang ingin masa depannya berbeda, tapi tidak tahu harus bagaimana?

Suatu hari di tahun 1963, seorang produser film bernama Larry Turman menemukan novel debut berjudulThe Graduate. “Buku itu lucu, tapi pada saat yang sama membuatmu gugup,” katanya.

Pembelian impulsif Turman menghasilkan salah satu film penting. Keberhasilannya menggapai pendapatan tertinggi ketiga dalam sejarah film pada saat itu, merevolusi pengambilan keputusan Hollywood tentang film mana yang dibuat, bagaimana film tersebut dibuat, dan kepada siapa film tersebut dipasarkan.

Tadinya, film itu hampir tidak dibuat. “Tidak ada yang menyukai novel itu.” Setiap studio menolak memfilmkannya. ”Mereka membaca, lalu membencinya, dan tidak ada yang menganggapnya lucu.”

Setelah dapat modal dari produser Joseph E. Levine, Turman mempercayakan film itu pada Mike Nichols, yang meski punya nama sebagai sutradara Broadway yang sukses, masih belum terlalu terkenal di Hollywood.

Selama periode setengah tahun pada 1967, Nichols menghasilkan empat drama hit yang ditayangkan secara bersamaan di Broadway. Namanya baru meroket ketika film Hollywood pertamanya, Who’s Afraid of Virginia Woolf? (1966) tayang dan diapresiasi besar-besaran. Dikombinasikan dengan film keduanya ini, The Graduate, diraih total 20 nominasi Oscar, termasuk dua untuk kategori Sutradara Terbaik, dan Nichols memenangkan salah satunya ya di The Graduate.

Jadi, apa isi cerita The Graduate?

Alkisah, Benjamin Braddock—dipanggil Ben—yang baru saja lulus sarjana, malah menemukan hidup baru dengan jadi selingkuhan teman orangtuanya. Ia jadi brondong gelapnya Nyonya Robinson (Anne Bancroft)–tentu jauh lebih tua dari Ben.

Bukan, ini bukan sinopsis film-film porno ber-genre MILF. Tapi topiknya memang sangat tabu, bahkan untuk ukuran zaman sekarang sekalipun.

Konfliknya makin meruncing ketika Ben dijodoh-jodohkan orangtuanya dengan putri Nyonya Robinson, bernama Elaine (Katharine Ross). Celakanya, Ben betulan jatuh cinta dengan Elaine. Nah, sekarang alurnya mulai mirip ke film-film porno ber-genre threesome dengan format featuring ibu-anak. Astagfir…

Salah satunya lewat film ini, Nichols mengembangkan citra sebagai seorang auteur yang suka bekerja secara dekat dengan aktor dan penulisnya, menggunakan mereka berulang kali dalam film yang berbeda. Hanya sedikit sutradara yang memiliki bakat sekuat Nichols dalam kemampuan menampilkan kelihaian para aktor.

Nichols bisa menarik keluar performa terbaik dari para aktor, terlepas seberapa jauh pengalaman akting mereka—baik yang tidak dikenal seperti Dustin Hoffman atau bintang besar seperti Richard Burton. Untuk film pertamanya, Who’s Afraid of Virginia Woolf?, masing-masing dari empat aktor penting di film itu bisa dinominasikan untuk Oscar, dengan pemenang Elizabeth Taylor dan Sandy Dennis.

Burton berkata, “Saya tidak berpikir saya bisa belajar apa pun tentang komedi. Tapi dari Nichols, saya (tetap) belajar,” menambahkan, “Dia berkonspirasi dengan Anda untuk mendapatkan yang terbaik.”

Gaya penyutradaraan yang sama digunakan untuk The Graduate. Nichols bisa menciptakan lingkungan yang sangat protektif di antara para aktor. Ia bisa membuatmu merasa ia hanya ada untukmu. “Apa yang luar biasa tentang Mike adalah bahwa ia membuat Anda merasa seolah-olah Anda yang memunculkan ide, padahal itu sebenarnya miliknya,” ujar Ann Margret, aktrisnya di film Carnal Knowledge (1971).

Keajaiban Nichols ya menemukan Hoffman, yang sebelumnya tidak memiliki pengalaman film, bahkan menempatkannya sebagai pemeran utama–padahal orang lain terus menyarankan untuk pakai bintang terkenal seperti Robert Redford. Hoffman mengapresiasi Nichols karena telah mengambil risiko besar itu: “Saya tidak tahu contoh lain dari seorang sutradara di puncak kekuasaannya yang akan mengambil kesempatan dan memasukkan seseorang seperti saya di bagian itu. Butuh keberanian yang luar biasa.”

Nichols mengaku kasihan pada Hoffman yang sifat aslinya memang lembut dan sangat pemalu. Ia langsung jadi selebriti setelah The Graduate tayang. Nichols melihat ketidaknyamanan Hoffman saat diwawancarai di televisi. “Ia tampak persis seperti anak laki-laki [Ben] di film itu,’’ujarnya.

Tadinya, Hoffman berperan sebagai Liebkind dalam film Mel Brooks, The Producers (1967). Tetapi sebelum syuting dimulai,ia memohon kepada Brooks untuk mengizinkannya mengikuti audisi The Graduate. Dalam audisi itu—usianya sebenarnya sudah 30 tahun saat itu—Hoffman diminta untuk melakukan adegan seks dengan Katharine Ross. Padahal, sebelumnya Hoffman tidak pernah melakukan adegan semacam itu di pendidikan aktingnya. Secara rendah diri, ia juga merasa “seorang gadis seperti [Ross] tidak akan pernah mau dengan pria seperti saya dalam sejuta tahun.”

Ross sendiri setuju, menganggap Hoffman “terlihat hanya setinggi sekitar 3 kaki … sangat tidak terawat. Ini akan menjadi bencana.” Namun, memang kecanggungan Hoffman yang konon membuat Nichols memilihnya. Menurut Nichols, aktor seperti Redford tak punya karakter underdog yang dibutuhkan peran Ben.

Majalah Life pernah bercanda, “jika wajah Dustin Hoffman adalah kekayaannya, ia akan hidup dalam kemiskinan”. Hoffman sukses membuat ketampanan konvensional tidak lagi diperlukan di layar. Seluruh generasi mengubah ide tentang seperti apa pria itu seharusnya. Fisik Hoffman membawa semacam perubahan sosial dan selera visual, dengan cara yang sama orang pertama kali memikirkan Humprey Bogart.

Time menyebut Hoffman sebagai simbol yang mewakili aktor generasi baru. Ia berhasil menggeser pakem bintang film tradisional, membawakan peran yang lebih kompleks, bahkan tidak disukai.

Sementara, pilihan pertama Nichols untuk pemeran Nyonya Robinson tadinya adalah aktris Prancis Jeanne Moreau. Nichols percaya klise budaya Prancis: wanita lebih tua cenderung cocok melatih pria lebih muda dalam masalah seksual.

Banyak aktris yang dipertimbangkan. Turman sempat menginginkan Doris Day karena citranya yang serba Amerika. Namun, Day menolak tawaran tersebut karena adegan telanjang yang menganggunya. Sisanya, opsi itu sempat hinggap ke Shelley Winters, Ingrid Bergman, Eva Marie Saint, Ava Gardner, Patricia Neal, Susan Hayward, Deborah Kerr, Rita Hayworth, Lana Turner dan Geraldine Page. Sampai akhirnya, ya Anne Bancroft yang mendapatkannya. Padahal, meski berperan sebagai ibu dan anak, usia Bancroft dan Katharine Ross aslinya hanya terpaut delapan tahun.

Selain sisi akting, The Graduate amat didukung pukau aspek musik. Berawal dari pilihan Nichols menggunakan musik dari duo folk, Simon & Garfunkel. Nichols sedang terobsesi, mendengarkan karya mereka secara nonstop sebelum dan sesudah syuting. Ia lalu bertemu dengan pimpinan Columbia Records, Clive Davis untuk meminta izin lisensi musik Simon & Garfunkel. Duo ini memang tengah mencapai ketenaran nasional di Amerika Serikat pada tahun 1965–66.

Simon tidak segera menerima tawaran itu, tapi setuju untuk menulis setidaknya satu atau dua lagu baru untuk The Graduate setelah terkesan dengan kecerdasan Nichols dan naskahnya. Maka lahirlah dua lagu baru, “Punky’s Dilemma” dan “Overs”. Eh, tapi dua-duanya tidak disukai Nichols.

Nichols lalu bertanya, apakah ada lagu lain untuk ditawarkan? Simon kemudian mengajukan versi awal “Mrs. Robinson”—tadinya berjudul “Mrs. Roosevelt” (dari sosok Eleanor Roosevelt). Nichols sangat gembira mendengar lagu tersebut, kemudian berkomentar, “Mereka mengisinya dengan dee de dee dee de dee dee dee karena belum ada bait liriknya, tapi saya bahkan menyukainya.”

Belum ada nama di dalam lirik itu (untuk bagian penyebutan ‘’..Robinson..’’), dan mereka pokoknya hanya akan mengisinya dengan nama yang terdiri dari tiga suku kata. Karena kebutuhan karakter di film itulah akhirnya mereka mulai memakai nama ”Mrs. Robinson”.

Perihal elemen musiknya, versi film menggunakan ketukan Bo Diddley–beda dengan versi studio. Dimasukkannya frasa “coo-coo-ca-choo” oleh Simon adalah sebuah penghormatan terhadap lirik dalam lagu The Beatles, “I Am the Walrus”.

Jadilah salah satu lagu terbesar Simon & Garfunkel: ”Mrs Robinson”. Lagu itu dianugerahi dua Grammy Awards pada tahun 1969.

Apalagi kebaruan dari The Graduate?

Sebelum The Graduate, Hollywood percaya sebuah film harus menarik bagi semua orang supaya bisa sukses. Namun, The Graduate yang memenuhi bioskop selama dua tahun ternyata hampir separuh penontonnya hanya berusia di bawah 24 tahun.

Jadi, sebuah film yang punya segmen tertentu ternyata tetap bisa sukses besar. Melalui film itupun karakter wanita berumur yang menggoda ala Nyonya Robinson telah menemukan ceruk permanen dalam sejarah budaya Amerika. Dibuktikan lagi, The Graduate lalu memenangkan Oscar untuk kategori Best Director, meskipun reaksi kritis sangat beragam.

The Graduate cukup kaya untuk dibaca secara berbeda sepanjang waktu. Dulunya, film ini dilihat sebagai film “serius” pertama yang ditargetkan ke baby boomer yang baru saja beranjak dewasa. Pada saat itu, banyak kritikus dan penonton memahami The Graduate sebagai potret masyarakat kaya dan kolot, lewat karakter orang-orang dewasa di sekitar Ben.

Namun, 50 tahun kemudian, atau hari ini, The Graduate bisa kita maknai dengan sangat berbeda.

Saya pinjam dulu analisis dari kritikus Roger Ebert—saya bukan penggemarnya, tapi rasanya ini salah satu tulisan terbaiknya. Dalam resensinya tentang The Graduate di tahun 1967, Ebert mengaku berempati pada karakter Benjamin.

Tetapi, 30 tahun kemudian, di tahun 1997, ketika menulis lagi tentang film ini, Ebert berubah sudut pandang. Ia menilai, protagonis sebenarnya dari The Graduate adalah Nyonya Robinson:

“Nah, ini untuk Anda, Nyonya Robinson,” ia memulai tulisan versi 1997-nya. “Kamu telah selamat dari kekalahanmu di tangan bajingan yang tak terperi itu, Benjamin, dan muncul sebagai karakter paling simpatik dan cerdas di The Graduate.”

Dalam penilaian ulangnya, Ebert menyatakan bahwa The Graduate memang muncul di akhir 1960-an ketika orang tua mendukung nilai-nilai kelas menengah yang kolot. Dan anak-anak adalah pemberontak yang gembira di ujung revolusi seksual dan politik.

Nah, Ebert mengakui bahwa “hari ini, menonton The Graduate, saya melihat Benjamin bukan lagi sebagai pemberontak yang mengagumkan, tetapi sebagai bajingan egois yang meremehkan orang dewasa.”

Apa yang benar-benar berani, dan karenanya menyegarkan untuk era itu, adalah sikap moral film tersebut. Penerimaan terhadap fakta bahwa seorang pria muda dibenarkan berselingkuh dengan seorang wanita dan masih menikahi putrinya.

Ingat, dalam adegan awal yang tak terlupakan, Nyonya Robinson meminta Benjamin mengantarnya pulang, lalu membujuknya ke kamar dan melepas pakaian.

Benjamin lalu berubah pikiran—dari tadinya menolak godaan itu, jadi mengundang Nyonya Robinson ke Hotel, lalu memulai perselingkuhan. Tidak ada yang naksir karena romansa, tetapi pada titik tertentu menjadi jelas bahwa Benjamin berada di atas angin hanya karena siapa dia: bebas, muda, kaya, dengan seluruh optimisme di depannya.

Saya pun sebenarnya terganggu dengan kelakuan Ben. Ia memaksakan untuk tetap mengejar Elaine. Helloooo motherfucker, kamu baru saja ngewe dengan ibunya. Bayangkan, perasaan Nyonya Robinson. Lebih buruk lagi, bayangkan perasaan Tuan Robinson (William Daniels), bagaimana mungkin rela anaknya dinikahi orang yang pernah uwuwuwuuw dengan istrinya. Tidak masuk akal.

Apalagi, hari ini, kita tidak bisa lagi menonton film seperti The Graduate dengan cara yang sama. Hoffmann misalnya, yang membintangi The Meyerowitz Stories awal tahun 2017, sudah dituduh oleh setidaknya tujuh wanita melakukan pelecehan dan penyerangan seksual.

Hoffman sempat merilis permintaan maaf kepada pekerja magang berusia 17 tahun yang mengaku jadi korban pelecehan juga, tetapi membantah bersalah, dengan mengatakan, “Saya sangat menghormati wanita dan merasa tidak enak bahwa apa pun yang saya lakukan dapat menempatkannya dalam situasi yang tidak nyaman”, melanjutkan, “Saya minta maaf. Ini tidak mencerminkan siapa saya.”

Cukup sulit membayangkan sekarang ada orang yang melihat Benjamin sebagai pemberontak yang keren. Ia sebenarnya tampak mirip dengan banyak pria bajingan redflag – serakah dan ceroboh. Ia tidak berhasil mengendalikan minat cabulnya pada wanita yang lebih tua,

Apa yang membuat Ebert menjadi kritikus yang patut dibaca sekali-kali adalah karena ia merupakan seseorang yang antusias. Dan di ulasan-ulasannya soal The Graduate, antusiasmenya menjadi-jadi.

Jelas bukan The Graduate yang berubah. Yang berubah ya Ebert, saya, atau kamu.

Saat menulis ini, usia saya tepat di tengah-tengah antara usia Nyonya Robinson dan Ben: 30 tahun. Saya mulai yakin tidak akan berpihak pada seseorang yang ingin mengencani seorang perempuan setelah berselingkuh dengan ibunya.

Bagi saya, The Graduate tetap sebuah mahakarya, karena berhasil menangkap kecemasan eksistensial Ben dan Nyonya Robinson. Bahkan, jika penonton yang lebih muda mungkin lebih menghargai perspektif Nichols yang membela Ben, ya tidak apa-apa.

Era itu, 1967, memang Summer of Love. Anak-anak muda membuat suara mereka didengar dalam politik dan mengungkapkan jurang yang semakin lebar antara mereka dan generasi orang tuanya.

Sepanjang film, orang dewasa di sekitar Ben bersikap seperti vampir. Seolah-olah mereka bisa mendapatkan kembali masa mudanya dengan mencuri milik Ben. Nyonya Robinson termasuk di dalamnya.

Seiring berjalannya film, tema perang generasi menjadi semakin mencolok. Di tengah kencan mereka, Nyonya Robinson memberi tahu Ben, “Saya rasa kita tidak punya banyak hal untuk dikatakan satu sama lain.”

Elaine benar-benar satu-satunya orang seusia Ben yang di menit itu bisa kita temukan dari seluruh film. Ben tampaknya tidak punya teman sebaya. Ia kesasar seperti Charlton Heston dalam Planet of The Apes.

Mengingat Nichols saat membuat film ini masih relatif muda–berusia 35 tahun, sementara penulis skenario Buck Henry berusia 36 tahun – kepekaan ini masuk akal. Dari sudut pandang mereka yang berusia tiga puluhan, sama seperti saya sekarang, mereka dapat dengan jelas melihat kedua sisi generasi.

Mungkin perasaan kita tentang The Graduate mencerminkan tahapan yang telah kita capai dalam hidup saat menontonnya. Untuk penonton yang lebih tua, ini adalah pengingat bahwa Anda juga pernah muda. Bagi yang muda, ini adalah pengingat bahwa Anda juga akan segera menjadi tua. Jika pernah ada film untuk menyatukan generasi yang bertikai dalam saling mengasihani diri sendiri, ya inilah…

Best Lines:

Benjamin: Mrs. Robinson, I can’t do this anymore.

Mrs. Robinson: You what?

Benjamin: This is all terribly wrong.

Mrs. Robinson: Do you find me undesirable?

Benjamin: Oh no, Mrs. Robinson. I think, I think you’re the most attractive of all my parents’ friends. I mean that.

After Watch, I Listen:

Simon & Garfunkel – Mrs Robinson

23FridayFeb 2024

Posted by sonitriantoro in Film 1960-an Paling Kucintai

Leave a comment

Tags

film lama bagus, film penjara bagus, prison movie

film lama bagus – Melangit Merah (12)

Stuart Rosenberg

1967

Drama

Yang pertama kali menarik perhatian saya dari film ini adalah bagian dialog:

What we’ve got here is… failure to communicate. Some men you just can’t reach. So you get what we had here last week, which is the way he wants it… well, he gets it. I don’t like it any more than you men.

Saya dulu pertama kali mendengar isi dialog itu justru dari intro lagu “Civil War” milik Guns N’ Roses. Sebagai penggemar berat band itu (setidaknya dulu), saya mendengarkan lagu tersebut berulang-ulang. Cukup jenius, Axl Rose (vokalis) menaruh potongan dialog tersebut pada konteks lain di sebuah lagu tentang perang sipil.

Baru beberapa tahun setelahnya, saya tahu kalau ternyata larik itu sendiri sudah berstatus legendaris dalam jagat sinema. Menjadi harta berharga dalam Cool Hand Luke, film yang menampilkan pembangkangan dari seorang narapidana bernama Luke (Paul Newman) terhadap sistem sosial. Dan caranya memberontak itu dipandang keren oleh teman-temannya.

Cool Hand Luke adalah adaptasi novel karangan Donn Pearce yang berjudul sama pada 1965. Pearce mengembangkan cerita itu dari pengalaman pribadinya saat dipenjara bareng geng narapidana Florida—geng semacam itu biasanya dinamakan chain gang.

Setiap malam, Pearce menuliskan beberapa cerita dari apa yang dilihat dan didengarnya di sekeliling penjara—meski belum tahu akan dijadikan apa. Ia juga mulai membaca beberapa buku dengan lebih serius, seperti Faulkner’s Sanctuary. Menurut Pearce, sekitar sepertiga dari Cool Hand Luke adalah ceritanya sendiri, sepertiga bersandar pada kabar burung yang tersiar di lingkungan penjara, dan sepertiga sisanya adalah fiksi murni.

Penjara mengajarkan Pearce bahwa kerja keras bisa menghabiskan waktu, bisa memberi kepuasan yang lebih dalam dari yang dikenalnya sebelumnya. “Ketika saya keluar dari chain gang,” kenangnya, “bos berjalan berkata kepada saya, ‘Donn, Kamu telah melakukan lebih banyak pekerjaan untuk saya daripada pria mana pun yang pernah saya miliki.’

Dan saya berkata, ‘Terima kasih, bos, terima kasih banyak’–karena saya tidak yakin apakah saya masih harus memanggilnya bos, dan karena itu adalah pujian termanis yang pernah saya dapatkan.”

Pada tahun 1959, setelah bebas, Pearce mengalami patah kaki karena kecelakaan sepeda motor. Tidak bisa banyak beraktivitas fisik, Pearce memutuskan untuk mulai menulis novel berdasarkan catatan dan ingatannya di penjara. Ia menulis, dan menulis ulang enam kali selama periode enam tahun.

Ketekunannya ini ternyata didukung dari sebuah quote penulisan yang menarik—dan saya mungkin akan meminjamnya buat ngisi kelas penulisan ~

“Ada seorang wartawan tua pemabuk. Dan dia berkata, ‘Kamu akan menulis sejuta kata sebelum bisa menerbitkan seribu kata pertama’. Itu selalu melekat di kepala saya,” kata Pearce.

Pearce akhirnya akhirnya menyelesaikan Cool Hand Luke di usia 36.

Sebagai sinema, Cool Hand Luke kerap dikomparasikan dengan The Shawshank Redemption (1994). Keduanya sama-sama dikenal sebagai film yang mampu menggambarkan kehidupan penjara dengan baik. Kendati, artikel Life berjudul “Sheer Beauty in the Wrong Place” mengkritik pengaruh gaya visual yang menggambarkan kamp penjara di Cool Hand Luke. Majalah itu berargumen, kita justru dipertontonkan penjara yang seperti hotel: “kamp istirahat [di mana] para napi mendapat cukup waktu tidur, makanan, dan olahraga luar ruangan yang sehat”.

Namun, Stuart Rosenberg, sang sutradara, sudah menuntut para pemeran untuk menginternalisasi kehidupan di penjara. Salah satunya, melarang istri mereka datang di lokasi syuting.

Yah, lantaran dipaksa tidak bersenggama berhari-hari, para pemeran chain gang ini jadi seperti abang-abangan porno, penuh obrolan jorok. Terlihat natural, apalagi dalam adegan mereka cuci mata melihat penuh nafsu seorang perempuan (Joy Harmon) yang tengah mencuci mobil sambil diseksi-seksikan.

Saya jadi ingat sinetron Montir-Montir Cantik yang dulu dibintangi Jeremy Thomas dan Sarah Azhari—lagunya “Rahasia Perempuan”-nya Ari Lasso. Ada yang masih ingat? Itu betulan kayak Brazzers tapi minus adegan ngewe aja.

Lanjut.

Menjadi “beda” itu butuh keberanian, kemauan keras, dan keyakinan diri yang luar biasa. Tidak semua orang mau terjun dalam pertempuran semacam itu. Meski seringkali kita menemukan orang caper di media sosial, tapi jauh lebih banyak orang merasa nyaman menjadi biasa-biasa saja.

Luke, yang diperankan dengan mengagumkan oleh Paul Newman, mengadopsi garis anti-otoriter sepanjang hidupnya. Ia terus-menerus menentang otoritas penjara, coba melarikan diri berkali-kali. Bahkan, ini diawali sedari aksi vandalisme sia-sia—merusak meteran parkir—yang membuatnya dipenjara dalam adegan pembuka Cool Hand Luke.

Bukan hanya otoritas para penjaga penjara yang ditentang Luke. Ia awalnya juga menolak bersantun-santun kepada pentolan chain gang itu, Dragline (George Kennedy). Di momen ini, kita mulai menebak-nebak apakah alurnya akan berakhir klise: Luke bakal dimusuhi dan dirundung—atau disodomi—oleh Dragline dan gerombolan napi lain.

Untungnya, bukan. Tak butuh banyak waktu, Dragline menerima sosok Luke. Bahkan, ia mulai menjadi “pengagum”, memposisikan Luke sebagai inspirator. Luke di mata Dragline—dan napi lainnya—ialah underdog yang selalu mengejutkan, meski tidak punya apa-apa di tangannya. Julukan cool hand luke pun tersemat.

film lama bagus – Melangit Merah (13)

Balik ke dialog legendaris itu, “What we’ve got here is… failure to communicate“. Ternyata kutipan ini aslinya tidak ada di novelnya. Dialog itu secara orisinil ditulis oleh penulis naskah film Cool Hand Luke, Frank Pierson. Tadinya, Pearce mengkritik. Baginya, para pengawal penjara di kisah itu “100% redneck“, tidak teredukasi, sehingga tidak realistis untuk bisa mengucapkan frasa yang cerdas seperti itu.

Beberapa penulis percaya, kutipan itu merupakan metafora untuk Perang Vietnam yang sedang berlangsung selama pembuatan film. Namun, bisa juga diinterpretasikan dalam konteks pengelolaan perusahaan hingga penanganan kenakalan remaja.

Mari kita fokus pada peran dialog itu dalam cerita Cool Hand Luke sendiri. Digambarkan, sosok yang mengatakannya, Kapten (Strother Martin) memang suka membual tentang dirinya—sebagai orang yang berakal sehat—tetapi selalu hanya bicara satu arah. Ia mengajukan argumen “gagal berkomunikasi”, tapi sebenarnya dirinya sendiri tidak tertarik untuk menjalin dialog dengan para napi. Ia hanya menghukum siapa pun yang tidak mematuhi aturannya secara tertulis. Menegakkan mitos otoritas sebagai pihak yang ditakuti.

Jika sang Kapten berbicara seperti politisi standar, mewakili pemerintah, maka Godfrey (Morgan Woodward) mewakili polisi, yang kebrutalannya membantu memicu banyak kerusuhan rasial di tahun 60-an. Pembunuhan figur public cukup marak pada saat itu, seperti pembunuhan JFK, Martin Luther King, atau Malcolm X. Dalam konteks ini, Luke mewakili suara perbedaan pendapat yang dibungkam dengan peluru.

Pada adegan terakhir di gereja, Kapten dan anak buahnya tidak mau lagi ada komunikasi, tidak ada negosiasi. Tindakan pembangkangan terakhir Luke, mengejek Kapten, menjumpai tembakan fatal dari senapan Godfrey, mengakhiri percakapan sepihak.

Akting Newman sangat bersinar di film ini. Kehadiran fisik Paul Newman adalah salah satu alasan kunci film ini berhasil: senyuman, mata biru yang polos, ketenangannya. Untuk mengembangkan karakternya, Newman sengaja pergi ke West Virginia, merekam aksen lokal dan menyurvei perilaku orang-orang di sana.

Atas performanya sebagai Luke, Newman merengkuh nominasi Oscar keempatnya untuk kategori Aktor Terbaik—setelah Cat on a Hot Tin Roof (1958), Hud (1961), dan The Hustler (1963). Luke di tangannya menjadi salah satu karakter anti-otoriter Hollywood yang setara di samping Randall Patrick McMurphy dari JackNicholson dalam One Flew Over the Cuckoo’s Nest (1975).

Padahal, Pearce awalnya ragu dalam penilaiannya memilih Newman. Menurut Pearce, fisik Newman terlalu kecil untuk berperan sebagai pria setangguh Luke.

“Sekarang, seluruh dunia berpikir bahwa Paul Newman adalah Cool Hand Luke.”

Yang tidak kalah kemilaunya, George Kennedy yang memenangkan kategori Best Supporting Actor dalam Oscar. Ia berhasil menampilkan secara subtil transformasi Dragline dari mulanya pemimpin geng yang bossy, beranjak menerima Luke, lalu berakhir memujanya.

Lucunya, selama proses nominasi Oscar, Kennedy sempat khawatir kalah dari kesuksesan box-office Camelot dan Bonnie and Clyde. Ia rela menghabiskan $5.000 untuk mengiklankan dirinya sendiri. Untungnya, berkat penghargaan tersebut, gajinya “dikalikan sepuluh saat [dia] menang”, katanya sendiri. “Bagian yang paling membahagiakan adalah saya tidak lagi harus bermain jadi penjahat terus.”

Penafsiran lain soal Cool Hand Luke adalah alegori Yesus. Dalam ikonografi visual, tematik, dan alur cerita, Luke dinilai mempesona sebagai seorang martir seperti Kristus.

Penolakan yang terus dilakukannya tak terpadamkan, hampir tidak ada kata menyerah. Pemberontak dengan tujuan.

Luke bertarung dalam pertempuran yang kalah, pertempuran yang diam-diam diketahuinya akan kalah, bahkan sebelum mulai melawan. Tetapi, ia tidak harus menerimanya, dan karena itu menolak. Momen terakhirnya datang ketika ia mengucapkan “kegagalan untuk berkomunikasi…” sebelum tertembus peluru.

Luke merupakan seorang pria yang tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipertaruhkan, kecuali martabat dan kepemilikan atas dirinya sendiri. Ia memainkan satu kartu yang tersisa: pembangkangan. Sayangnya, kartu itu kalah.

Bahkan, saya menemukan satu situs yang khusus mencari simbolisme dan cocoklogi antara adegan-adegan Luke dengan ritual dan kepercayaan dari Nasrani.

Saya kutip beberapa:

ANAK-ANAK: Ibu Luke, Arletta (Jo Van Fleet) yakin Luke akan tumbuh menjadi orang yang spesial, dianugerahi kehidupan yang memuaskan. Setelah Luke lahir, ayahnya pergi dan tidak pernah terdengar lagi. Tidak banyak yang diketahui tentang masa kecil Luke, sama seperti Yesus.

PEMBAPTISAN: Pembaptisan Luke terjadi setelah para narapidana selesai mengaspal jalan. Saat hujan turun, semua orang kecuali Luke melarikan diri untuk berlindung. Luke meminta Tuhan untuk memberinya pertanda, dan Tuhan memberi tahu bahwa dia ada di atas sana.

Ada banyak lagi sebenarnya. Tapi karena saya bukan Nasrani, lebih baik kalian cari sendiri. Saya takut pindah.

Best Lines:

Dragline: Nothin’! A handful of nothin’. You stupid mullet head, he beat you with nothin’, just like today when he kept comin’ back at me, with nothin’.

Luke: Yeah, well… sometimes nothin’ can be a real cool hand.

After Watch, I Listen: Guns N’ Roses – Civil War

22ThursdayFeb 2024

Posted by sonitriantoro in Film 1960-an Paling Kucintai

Leave a comment

Tags

film lama bagus, film lawas bagus, film pelacur bagus, film prostitusi, film romance lama

film lama bagus – Melangit Merah (14)

Billy Wilder

1963

Romance Comedy

Film bertemakan kehidupan prostitusi itu sudah jamak, termasuk sebelum tahun 1963. Kebanyakan, tokoh utamanya ya pekerja seks itu sendiri. Dan jika genre-nya romantis, biasanya isinya tentang si tokoh yang tengah jatuh cinta atau dicintai seseorang yang berusaha mengeluarkannya dari kubang dunia pelacuran.

Jadi, Irma La Douce tidak menghadirkan kebaruan secara tema, meski topik seperti ini tentu menyimpan keseksian kontroversi sampai kapanpun. Tapi, saya merasa yang satu ini film dengan plot “kesengsem sama kupu-kupu malam” yang paling cantik bermain di wilayah romantic comedy.

Irma La Douce (Shirley MacLaine), seorang pekerja seks komersial yang “buka lapak” di distrik lampu merah Paris. Film dibuka menggambarkan kawasan itu, dipenuhi orang-orang yang mendambakan malam kasih sayang dari perempuan bayaran. Kalau kata band Silampukau di lirik “Dolly”, di sanalah tempat mentari sengaja ditunda, di mana cinta tak musti merana dan banyak biaya.

Perempuan-perempuan ini diizinkan terus menjajakan dirinya karena para pejabat polisi sekitar menjalankan skema korup menerima suap dari industri ini. Yah, sama saja cara kerjanya dengan Sarkem, Saritem, Doli, dan lain-lain.

Lantas, Nester Patou (Jack Lemmon), seorang polisi lugu, baru saja ditempatkan Patroli di sana. Mulanya, ia berusaha menjadi pahlawan yang mendobrak kenormalan itu dengan sok-sokan melakukan penggebrekan, tapi malah berakhir dipecat. Ujung-ujungnya, ia justru berbalik menjadi germonya Irma.

Konflik dimulai setelah Nester betulan baper pada Irma. Ia menjadi cemburu pada tiap pelanggan lain yang menyewa jasa Irma.

Namanya cinta, Nestor lalu menyusun rencana aneh. Ia menyamar sebagai pria kaya, diberi nama “Lord X,” untuk mem-booking Irma di tiap Kamis dengan harga super mahal, supaya Irma tak perlu lagi menjajakan dirinya lagi di hari-hari lain.

Yang pertama saya suka dari Irma La Dolce, tentu saja kembalinya duet brilian Jack Lemmon dan Shirley MacLaine—setelah mahakarya The Apartment (1960).

Tokoh Irma dibentuk sangat bagus, seharusnya cukup ikonik (meski akhirnya kok ya tidak terlalu populer di jagat perfilman). Ia selalu mangkal di pinggir jalan, bersandar di dinding hotel Casanova, mengenakan legging, tanktop, dan bando berwarna hijau terang, menenteng seekor anjing poodle, dan merokok dengan gestur jemawa.

Yang paling saya suka, Wilder tak meromantisasi karakter Irma dengan membuatnya menjadi pelacur yang mengutuki nasib, merasa hina disentuh laki-laki tiap malam, dan lain-lain. Irma bersikap dingin dengan takdirnya, baginya ini tak beda dengan pekerjaan lain. Ia tidak digambarkan genit dan haus seks, serta juga tidak digambarkan merana.

“This is not just a job, it’s a profession,” ujarnya.

Sebagai orang yang sering mengantar teman ke prostitusi (ini terdengar seperti disclaimer yang buruk, tapi percayalah, plis)—saya punya wawasan kecil-kecilan terhadap dunia ini. Dan memang bagi orang awam—termasuk saya di awal-awal punya hobi mengantar teman ini—ada dorongan untuk memandang iba para pekerja seks ini.

Tapi semakin ke sini, saya merasa mereka ya orang cari duit yang biasa-biasa saja. Menawarkan jasanya sama seperti mba-mba guru bimbel, makeup artist, instruktur yoga, dan lain-lain.

Saya bahkan pernah menghadapi mba-mba #AvailJakarta (!) yang bisa dibilang cukup mengingatkan pada karakter Irma. Datang menyambut kami dengan rokok terselip di bibirnya, menuntun masuk ke kamar dengan enteng, mengajak merokok sebat dulu sambil bersila di lantai, lalu bertanya, “kalian pasti mengira saya sama dengan [mereka] yang di [lantai] bawah ya?”

Ia merujuk ke PSK-PSK lain yang sudah lebih berumur, berkeliaran di sekitar apartemen. Secara fisik, mereka memang lebih gemuk, kulitnya sudah mengendur. Yah, mungkin mereka punya segmennya sendiri. Kami memang harus melewati tongkrongan itu dulu, dan kala itu saya pun sempat berpikir pesimis, “duh, salah pilih nih”. Untung saya cuma mengantar.

“Beda, aku lebih highclass,” katanya, sambil mengembuskan asap rokok secara pongah. Anjay. Keren kamu, Mbak.

Agar bisa memerankan Irma sebaik mungkin, Shirley MacLaine pergi ke Paris untuk melihat seperti apa realitas pekerja seks di sana. Para pekerja seks yang jadi objek risetnya bersemangat menceritakan diri sangat bersedia menjawab pertanyaan apa pun. MacLaine awalnya malah yang merasa tidak nyaman, ia menolak dengan sopan tawaran menyaksikan langsung bagaimana mereka “melayani” pelanggannya (baca: ngewe). Mereka kemudian marah, memaksa MacLaine mengintip salah satu pelanggan mingguan mereka sedang di-gangbang bersama tiga gadis melalui jendela kecil di pintu hotel. Lumayan, bokep gratis.

Tadinya sih, Wilder menginginkan Marilyn Monroe yang mengisi peran Irma, mengulang kesuksesan Some Like It Hot (1959). Tapi kita tahu, Monroe keburu meninggal. Begitu juga Wilder menginginkan Charles Laughton berperan sebagai Moustache—pelayan di bar seberang hotel Casanova—mengulang kesuksesan Witness for Prosecution (1957). Tapi sama, ia keburu meninggal sebelum syuting dimulai. Kutukan kayaknya ajakan Wilder ini.

film lama bagus – Melangit Merah (15)

Banyak orang percaya bahwa perempuan mengambil pekerjaan sebagai pelacur karena titik rendah dalam hidup. Situasi buruk menjungkalkan mereka ke dalam industri gongli itu. Meskipun narasi ini benar untuk beberapa kasus, prostitusi pada dasarnya memang menawarkan dukungan keuangan cukup besar bagi perempuan.

Alasan mengapa perempuan bekerja sebagai pekerja seks adalah sesuatu yang menarik diperbincangkan banyak orang – yang juga dieksplorasi dalam Irma La Douce. Adegan pembuka Irma La Douce sangat menarik. Digambarkan dengan cepat, setiap pelanggan Irma bertanya kurang lebih, “Kenapa akhirnya kamu jatuh ke dunia seperti ini?” Ini pertanyaan yang nyaris selalu jadi rasa penasaran bagi pelanggan prostitusi, kadang-kadang berhasil ditanyakan, kadang tidak.

Saya juga tentu memendam pertanyaan yang sama tiap mengantar teman. Tapi tidak pernah pertanyaan itu terlontar. Takut menyinggung, atau takut dibalas pakai dalil-dalil filsafatnya Schopenhauer.

Lucunya, Irma justru memanfaatkan pertanyaan seperti ini dari pelanggannya. Ia menjual kisah-kisah sedih palsu untuk menarik para pelanggan memberikan uang lebih. Mulai dari terpaksa menjadi pelacur karena “tiga jarinya patah, dan pupus mimpinya sebagai pianis profesional,”, “merupakan seorang putri misionaris di Kongo,”, atau “anak panti asuhan yang jadi korban d-day perang dunia.”

Tentu saja ketiga cerita itu berbeda, masing-masing bohong, dan lebih menyedihkan daripada yang berikutnya untuk menghasilkan lebih banyak uang dari pelanggannya. Itu membuat pelanggannya merasa diberdayakan atau bersimpati.

Perempuan memainkan peran berat dalam masyarakat Amerika abad ke-19. Mereka diharapkan menjadi mercusuar kebajikan, memastikan tiap suami dan anak-anak menjalani kehidupan yang lurus. Pekerja seks komersial jelas tidak ideal untuk itu. Organisasi reformasi seperti Magdalen Society dan Rosine Association berusaha untuk mereformasi pelacur. Mereka mengajari keterampilan yang dapat digunakan untuk mencapai pekerjaan “tepat moral” dan menjadi wanita yang terhormat.

Dalam Irma La Douce, Irma memberi tahu Nestor bahwa 9 dari 10 pria pernah mencoba mereformasinya, atau mengembalikannya ke jalan pertobatan. Kisah sedih dan kepribadian Irma yang manis membuat para pria melihat “potensi”-nya sebagai wanita berbudi luhur yang telah jatuh pada masa-masa sulit. Para pria merasa terpantik untuk menjadi penyelamatnya.

Dalam sudut pandang tradisional, laki-laki adalah pencari nafkah dan perempuan adalah penjaga rumah tangga. Ini terbalik di dunia prostitusi. Wanita adalah pencari nafkah – menghasilkan uang untuk pria mereka atau menghidupi diri mereka sendiri secara mandiri. Terminologi seperti yang kita kenal sekarang sebagai “germo” mulai digunakan pada tahun 1830-an, ketika laki-laki dipekerjakan sebagai pengawal pelacur dan rumah bordil.

Terbaliknya peran ekonomi tradisional antara gender laki-laki dan perempuan juga ada dalam film tersebut. Dalam sebuah adegan, Nestor sedang mencoba pakaian resmi untuk mencari pekerjaan tetap. Irma yang mendengar rencana itu malah menangis, “Apakah kamu mencoba membuatku merasa murahan? Apa yang akan dipikirkan gadis-gadis lain jika aku tidak mampu menghidupi priaku?”

Irma lalu berjanji, akan bekerja paling keras untuk Nestor. Mendandaninya lebih baik daripada pria lain dan memastikan bahwa kantungnya selalu terisi uang. Punya germo yang bekerja merupakan penghinaan bagi Irma. Ini tentu terbalik dari konstruksi gender hari ini, kesuksesan laki-laki terkait dengan kemampuannya untuk mendukung pasangan perempuannya.

Konflik utama sepanjang film ini bermula dari kecemburuan Nestor. Pada relasi internal dalam prostitusi, banyak pekerja seks komersial memang mengharapkan pelanggan tertentu menjadi “setengah setia” kepada mereka. Seperti Irma yang mengharapkan kesetiaan dari Nestor, sementara tiap malam ia sendiri harus tidur dengan beragam pria lain. Irma membela pekerjaannya, terus-menerus menegaskan bahwa tidur dengan laki-laki adalah kewajiban profesionalnya. Bagi Irma, profesinya tidak memengaruhi kesetiaannya dengan Nestor.

Perempuan meninggalkan prostitusi karena berbagai alasan. Bisa pertobatan religius, atau kebanyakan memang karena sudah menikah dan memulai keluarga. Dalam Irma La Douce, Irma menghakimi ibunya karena pernah meninggalkan prostitusi demi seorang pria. Sementara Irma sepertinya punya keyakinan dengan sikap tidak menginginkan sebuah keluarga. Pekerjaan dan karier baginya lebih dari itu. Seorang pria bukan mesiah yang akan datang dan membawanya pergi.

Irma menolak upaya reformasi apa pun. Hidup tidaklah mesti jatuh cinta, hamil, dan dilamar.

Dosakah yang dia kerjakan?

Sucikah mereka yang datang?

Kadang dia tersenyum dalam tangis

Kadang dia menangis di dalam senyuman

Wo-oh, apa yang terjadi, terjadilah

Sementara bagaimana dengan tokoh Nestor? Film ini berhasil menegaskan julukan The Guardian kepada Lemmon sebagai “The Most Succesful tragic-comedian on his age”. Memang ada rasa yang sama melihat duet ini di The Apartment. Meski perannya berubah, tapi tragisnya karakter Nestor dalam dinamikanya mencintai Irma begitu mirip dengan tokoh Bud Baxter dan Fran Kubelik.

Dalam The Apartment, Bud (Lemmon) menyalurkan ketulusan hatinya dengan membantu karakter Kubelik (MacLaine) memperbaiki hubungan romantikanya dengan bosnya. Sementara pada Irma La Douce, tokoh Irma begitu jatuh hati pada kesehariannya mencari uang, mencapai kemandirian ekonominya. Nestor hanya bisa mendukung dari belakang. Pengorbanannya selalu membuat trenyuh, termasuk banting tulang menjadi kuli dari pagi, lalu menyamar di malam hari menjadi Mr X.

Lema “kamu terlalu baik buat aku” itu cocok sekali untuk tokoh-tokoh yang diperankan Lemmon.

Pertanyaannya, apakah mungkin jatuh cinta pada seorang pekerja seks komersial?

Sangat mungkin. Saya punya seorang teman yang mengaku baper pada penyedia jasa cuddle care, bahkan ia sempat berencana serius mencarikannya profesi lain. Klise? Bisa jadi. Tapi salah besar, bila mengira itu hanya ada di film dan novel-novel.

Setahun kemudian, teman saya ini mengaku sampai berpacaran dengan seorang pemandu karaoke yang ditemuinya di kawasan plus-plus. Hidup ini memang menarik, memang romantic comedy.

But that’s another story…

Best Lines:

Moustache: Shows you the kind of world we live in. Love is illegal – but not hate. That you can do anywhere, anytime, to anybody. But if you want a little warmth, a little tenderness, a shoulder to cry on, a smile to cuddle up with, you have to hide in dark corners, like a criminal. Pfui.

After Watch, I Listen: The Beatles – Ticket To Ride

20TuesdayFeb 2024

Posted by sonitriantoro in Film 1960-an Paling Kucintai

Leave a comment

Tags

film bagus, film lama bagus, film scifi bagus, film scifi lama

film lama bagus – Melangit Merah (16)

Franklin J. Schaffner

1968

Sains Fiksi

Charlton Heston berlutut di pantai, tinjunya menghantam pasir, mengutuk umat manusia di depan Patung Liberty yang setengah rontok. Ini adalah klimaks dari Planet of The Apes, salah satu shot adegan penutup paling berdaya takjub dalam sejarah perfilman.

Sejak tayangnya Planet of the Apes, sudah ada empat sekuel: sebuah reboot gagal yang dikerjakan Tim Burton, dan reboot lain yang kemudian lebih sukses sampai menghasilkan tiga sekuel. Belum lagi beberapa spin-off di media lain, termasuk komik, video game, dan serial televisi (baik live action maupun animasi), dan tentu saja parodi Simpsons.

Planet of The Apes merupakan salah satu film pertama yang menghasilkan bisnis merchandise berskala besar. Ini termasuk mainan dan barang koleksi, action figure, buku gambar dan cerita, komik, dan serangkaian novel grafis.

Yak, sebelum ada Star Wars ya, film ini sudah menciptakan semacam cerita penuh imajinasi yang betul-betul dirayakan di jagat sinema.

Harus diakui, kini pamornya tidak seawet Star Wars memang. Memori publik terhadap film ini agak lumer. Selain adegan ending-nya, detail film secara keseluruhan tak menjadi sesuatu yang betul-betul dikenang orang. Padahal, Planet of The Apes merupakan sci-fi yang cukup menegangkan dengan aspek satir cerdik mengungkap dan mengeksplorasi kecemasan sosial pada masanya.

Dirilis pada tahun 1968, Planet of the Apes adalah bagian dari gelombang film segar yang cenderung eksperimental, kemudian dikenal sebagai gelombang New Hollywood. Berbagai ciri khas zaman itu dapat ditemukan di sini. Soundtrack dari Jerry Goldsmith misalnya, menolak konvensionalitas demi menciptakan nada-nada meresahkan melalui skor berorientasi perkusi yang penuh dengan suara disonan dan ritme tidak teratur.

Sebagian besar adegan film ini pun diambil secara on-loc di Arizona daripada di studio, lanskapnya yang berdebu bisa membangkitkan perasaaan keterpencilan dalam sebuah planet asing.

Planet of The Apes berasal dari novel buatan Pierre Boulle yang pendiam. Ia merupakan seorang insinyur sebelum banting profesi jadi penulis. Di antara dua pekerjaan itu, diam-diam menyelinap pekerjaan ketiga yang sangat cocok untuk para pendiam: mata-mata. Jadi, Boulle bekerja sebagai insinyur di perkebunan karet di Malaysia selama Perang Dunia II, lalu beroperasi sebagai agen rahasia dengan paspor Inggris palsu.

Setelah menekuni karier sebagai penulis setelah perang—selalu menulis dengan tangan—pengalaman itu mengilhami karya pertama dari dua karyanya yang paling terkenal: The Bridge Over the River Kwai (1952). Ini buku terlaris internasional yang oleh David Lean dibawa ke layar lebar lima tahun kemudian. Versi film adaptasinya kemudian memenangkan tujuh Oscar, termasuk Skenario Adaptasi Terbaik untuk Boulle sendiri, terlepas dari kenyataan bahwa bukan ia yang mengembangkan naskah filmnya (penulis aslinya masuk daftar hitam karena dinilai terlibat komunisme).

Jadi, ketika Boulle menulis The Planet of The Apes (1963), ia sudah tidak asing dengan kesuksesan. Novel ini berlatar tahun 2500, ketika tiga astronot terdampar di sebuah planet. Ada manusia di sana, tapi anehnya mereka hidup di alam liar seperti binatang, sementara justru ada spesies seperti kera yang hidup lebih beradab dan berkuasa. Kondisinya terbalik dengan apa yang mereka alami di bumi.

Sepanjang plot novel, Boulle menunjukkan pengetahuannya tentang sains. Ia selalu mengamati sesuatu dari sudut pandang ilmiah. Sangat kuat dalam matematika, fisika, astronomi. Pesawat ruang angkasa dalam kisahnya melakukan perjalanan dengan tingkat kecepatan cahaya yang memungkinkannya mempraktikkan prinsip pelebaran waktu menurut relativitas Einstein. Novel ini juga mengkaji konsep-konsep seperti layar matahari yang didorong oleh radiasi bintang, hingga humanisasi kera.

Ruwet pokoknya, saya juga tidak paham.

Ide sentral dari novel ini memang fiksi ilmiah murni, eksplorasi spekulatif dari konsep ilmiah saat Boulle mengamati kawanan kera saat mengunjungi kebun binatang. Dan menurut ahli primata dari Universitas St. Andrews Josep Call, isi novel itu cukup akurat: “Anatomi kera bukanlah halangan untuk mengembangkan fungsi kognitif superior yang mencakup, antara lain, perencanaan masa depan, penggunaan dan pembuatan instrumen, berbagai jenis memori, dan penalaran inferensial,”katanya.

Namun, Call mengklarifikasi, kita tidak boleh jatuh ke dalam kesalahan berpikir bahwa kera berevolusi menjadi manusia: “Gagasan tentang evolusi terarah adalah salah.”

Salah-benar terserah sajalah, saya pusing.

Produser Arthur P. Jacobs membeli hak memfilmkan naskah tersebut bahkan sebelum novelnya dirilis—meskipun perlu beberapa tahun lagi sebelum syuting dimulai. Sepanjang persiapan, dua penulis naskah Hollywood, Rod Serling dan Michael Wilson, bekerja merestrukturisasi cerita Boulle untuk membentuk susunan naskah yang bisa mempertahankan dasar latar belakang narasinya tetapi berbeda secara bentuk.

Awalnya, yang menulis adalah Serling—pencipta The Twilight Zone, tapi hasilnya sempat ditolak karena sejumlah alasan. Yang utama ya soal biaya, karena masyarakat kera berteknologi maju yang digambarkan oleh naskah Serling harus melibatkan set, properti, dan efek khusus yang mahal.

Maka, bergabunglah Michael Wilson—yang sempat masuk daftar hitam juga karena keterlibatan politik kiri—untuk menulis ulang naskah Serling. Selain menggubah dialog-dialognya, seperti yang disarankan oleh sutradara Schaffner, masyarakat kera di naskah itu dibuat lebih primitif–sebagai cara untuk mengurangi biaya produksi. Dalam novel, masyarakat kera memang secara teknologi sebanding dengan manusia tahun 1950-an atau 1960-an, dengan kota, mobil, televisi, dan teknologi lain yang tersisa dari populasi manusia di planet itu. Namun, anggaran mereka tidak dapat mengakomodasi gambaran cerita tersebut.

Film sains fiksi bergaya kolosal seperti ini memang masih belum terlalu terbayangkan di dekade 70-an. Masih rentan jadi aneh atau wagu. Makanya, pertimbangan untuk mendanainya pun panjang, proposalnya harus bekerja keras. Untuk meyakinkan Fox Studio bahwa film Planet of the Apes memungkinkan dikerjakan, produser pun harus merekam dulu adegan singkat dari draf naskah Serling.

Tidak usah bicara set. Tim make-up-nya saja harus terdiri dari lebih dari 80 make-up artist. Bila disesuaikan dengan inflasi, film itu memegang rekor dunia untuk anggaran make-up tertinggi, melahap sekitar 17% dari total anggaran.

Semua aktor kera dan figuran diharuskan memakai topeng mereka, bahkan saat istirahat dan di sela-sela pengambilan gambar karena butuh banyak waktu untuk meriasnya. Makanya, mereka cuma bisa makan makanan yang dicairkan dan diminum melalui sedotan.

Lucunya, selama jeda syuting, para aktor yang dirias sebagai kera cenderung berkumpul bersama sesuai spesies karakternya. Gorila dengan gorila, orangutan dengan orangutan, simpanse dengan simpanse. Itu tidak diatur atau disuruh, melainkan terjadi begitu saja. Natural. Apakah mereka kesurupan monyet Ragunan? Entah. Tapi ini patut diteliti.

Pokoknya, versi filmnya sedikit lebih banyak menampilkan sisi action, menyimpang dalam banyak hal dari novel, termasuk penambahan ending yang berbeda.

film lama bagus – Melangit Merah (17)

Sebenarnya, ada tiga ending lain yang diusulkan. Tetapi, yang paling disukai Heston–pemeran karakter utama, George Taylor–yang akhirnya menang. Dan itu adalah ending yang ditulis sendiri oleh Serling, yang kemudian jadi salah satu ending film yang legendaris

Meski, ada beberapa perubahan. Konon, tadinya versi ending itu mau menampilkan si patung Liberty terkubur sampai ke hidungnya di tengah hutan. Ada juga rencana menggambarkan patung itu hancur berkeping-keping. Yah, mungkin takut disemprit sama “polisi nasionalis”-nya AS ya.

Ada upaya sensor juga untuk mengedit adegan terakhir karena kata-kata kotor yang keluar dari mulut karakter Taylor. Tetapi, Heston dapat berargumen bahwa karakternya itu sebenarnya meminta Tuhan untuk mengutuk mereka yang bertanggung jawab atas kehancuran dunia, supaya nama Tuhan tidak digunakan sia-sia.

Gimana dengan Boulle? Rumornya, ia sempat kecewa dengan ending aslinya yang diubah, tetapi belakangan bisa menerimanya, bahkan lebih menyukaiending ini dibanding yang ia bikin sendiri di novel.

Planet of The Apes dapat diidentifikasi sebagai produk konteks sosial kontrakulturalisme yang lebih luas. Estetika apokaliptik film tersebut melukiskan planet ‘tidak dikenal’ ini sebagai bumi pasca-perang nuklir, diliputi refleksi ketakutan akan bom oleh masyarakat yang hidup melalui perlombaan senjata berbahaya yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Masyarakat kocar-kacir yang Heston temukan di planet ini, di mana spesies kera canggih bisa berbicara memerintah sementara insan manusia justru bisu dan buas, berfungsi sebagai alegori subversif untuk relasi antar ras, dan karenanya mencerminkan ketegangan di AS saat perjuangan Hak Sipil sedang berlangsung.

Pergolakan sosial di akhir tahun 60-an membuat alegori ini memang dapat diperluas untuk mencerminkan lanskap sosial secara umum. Kelompok generasi muda yang kurang mampu membantu akhirnya membentuk kembali dinamika tradisional dalam masyarakat. Bagi generasi yang lebih tua yang terbiasa dengan konservatisme tahun 1950-an, pasti terasa seolah-olah masyarakat dirusak oleh spesies hippies, feminis, dan bintang rock yang benar-benar baru dan aneh. Dalam pengertian ini, Planet of the Apes adalah ekspresi ketakutan yang dirasakan oleh tatanan istimewa yang mapan dari generasi baru ini, dan keinginan mereka untuk mengenyahkan segalanya.

Performa Heston sangat penting di film ini. Ia sukses membangun persona bintang dalam prototip laki-laki alfa putih macho tradisional ala epos seperti Ben Hur (1959) dan Ten Commandments (1956). Kembali ke jenis pahlawan dahulu kala. Yah, dari daftar film yang dibintanginya, sedikit menjelaskan kenapa saya tidak terlalu suka Heston. Film-filmnya jauh dari genre kesukaan saya.

Tapi, banyak orang suka. Dalam berita kematiannya untuk aktor tersebut, kritikus film Roger Ebert mencatat, “Heston membuat setidaknya tiga film yang akhirnya ditonton hampir semua orang: Ben-Hur, Ten Commandments dan Planet of The Apes.”

Richard Corliss menulis di majalah Time, “Dari awal hingga akhir, Heston adalah anakronisme yang agung dan kasar, simbol zaman ketika Hollywood menganggap dirinya serius, ketika para pahlawan berasal dari buku sejarah, bukan buku komik. Epos seperti Ben-Hur atau El Cid tidak dapat diciptakan hari ini, sebagian karena budaya populer telah berubah. Juga, terutama karena tidak ada orang yang seperti Charlton Heston untuk mewujudkan perawakan, semangat, dan keberaniannya.”

Terlepas dari sentuhan New Hollywood, plot dan gaya penceritaan Planet of The Apes umumnya masih mengikuti model studio lama, terutama garis cerita petualangannya, dengan banyak adegan pengejaran, perkelahian, dan bahkan romansa.

Ini tidak berarti Planet of The Apes hanya semacam konservatisme reaksioner, justru sebaliknya. Sekali lagi, ending-nya masih mencengangkan meskipun sudah familiar. Keputusan brilian untuk mengiringi pengungkapan dalam cerita ini dengan keheningan yang mencengangkan. Ending-nya mengundang kita mempertanyakan semua yang baru saja kita lihat.

Meskipun kera-kera di film ini digambarkan sebagai antagonis bagi Heston dan manusia. tetapi ending-nya menjelaskan bahwa manusia sebenarnya adalah arsitek kejatuhannya sendiri. Tiba-tiba status manusia sebagai pahlawan justru direndahkan, dan nilai-nilai dari apa yang mereka dan Heston wakili dipertanyakan. Planet of the Apes memunculkan pertanyaan yang menggugah pikiran tentang budaya umat manusia.

Film ini banyak menyinggung Teori Evolusi. Itu lho, teori yang bilang manusia itu berasal dari kera—simplifikasi, tapi biar cepet. Teori Evolusi ini memang saya dapati agak marak diungkit di Hollywood 60-an. Salah satunya yang secara khusus bahas itu adalah film Inherit The Wind (1960), terinspirasi sebauh persidangan tahun 1925 yang terkenal, di mana seorang guru sekolah menengah– dibintangi Spencer Tracy –ditangkap dan dituntut karena mengajarkan teori evolusi Charles Darwin.

Dari yang saya pelajari, Teori Evolusi dan Seleksi Alamnya Darwin ini memang mulai diperbincangkan lagi secara universal di dekade 50-an, bahkan diajarkan di sekolah beberapa negara. Boleh percaya atau tidak dengan ajarannya, tapi ini salah satu teori paling populer sekaligus berpengaruh di dunia.

Darwin bukan orang pertama yang mengemukakan pemikiran tentang evolusi spesies (salah satu yang mendahuluinya adalah kakeknya sendiri). Namun, hipotesis-hipotesis sebelumnya tak pernah diterima secara luas karena tak ada penjelasan memuaskan soal proses terjadinya evolusi. Sumbangan besar Darwin adalah bahwa dia tak hanya menyajikan mekanismenya—seleksi alam—melainkan juga sejumlah besar bukti meyakinkan.

Pengaruh Darwin pada pemikiran manusia sungguh mendalam. Ia mengubah nyaris seluruh bidang biologi. Seleksi alam merupakan prinsip yang berlaku luas dan telah diterapkan pada bidang lain seperti antropologi, sosiologi, politik, dan ekonomi. Lebih penting, teori Darwin juga menyasar pada pemikiran religius. Banyak orang Nasrani percaya bahwa menerima teorinya akan menggerogoti kepercayaan pada agama. Darwin sendiri adalah seorang agnostik.

Bahkan, di tingkat sekuler, teori Darwin mengakibatkan perubahan besar dalam cara manusia memandang dunianya. Ras manusia sebagai satu keseluruhan tak lagi menempati posisi sentral dalam skema alami dunia ini. Mereka hanyalah satu spesies diantara spesies lain, dan ada kemungkinan suatu saat akan tersisih.

Nah, cara pandang baru ini yang menjadi fondasi dari kisah Planet of The Apes.

Pada 2017, aktor-komedian Tim Allen men-tweet sebuah pertanyaan yang dijadikan bahan tertawaan ilmuwan, tapi cukup menarik bagi orang awam: “Jika kita berevolusi dari kera, mengapa masih ada kera?”

Jawaban singkatnya, “Kita tidak berevolusi dari hewan mana pun yang hidup saat ini,” kata Zach Cofran, seorang antropolog. Artinya, manusia tidak berevolusi dari gorila yang kita lihat di masa lalu. kebun binatang atau simpanse yang kita jepret saat bersafari. “Kesalahpahaman yang umum terjadi adalah melihat kera tinggal selangkah lagi untuk menjadi manusia.”

Darwin menggambarkan evolusi adalah ’keturunan dengan modifikasi’”. Itu berarti manusia adalah keturunan dari nenek moyang kera biasa (dan sekarang sudah punah) yang hidup jutaan tahun lalu. Meskipun kita berbagi nenek moyang dengan hewan ini, selama jutaan tahun, kita semuanya berubah. Perbedaan manusia dari garis keturunan kera terjadi antara 9,3 dan 6,5 juta tahun yang lalu.

Intinya, tetap semua manusia adalah kera, dan semua manusia berkerabat dengan kera lainnya. Konsep keterkaitan universal ini sebenarnya sangat rendah hati, karena jika dipikir-pikir, kita berbagi nenek moyang dengan hampir semua yang hidup di bumi. Dengan kata lain, kita semua adalah keturunan dari satu spesies yang hidup berjuta-juta tahun yang lalu. Itu juga berarti manusia berkerabat dengan kuda laut, bajing lompat, keledai, dan bakteri.

Cofran menyebut kesalahpahaman umum lainnya, yaitu bahwa manusia tidak lagi berevolusi. Semua hewan di Bumi terus berevolusi, termasuk manusia. Masalahnya, kita cenderung melihat evolusi berpusat pada manusia. Padahal, tujuan evolusi bukanlah untuk menjadi manusia, dan makhluk yang terlihat lebih “primitif” juga tidak berada di jalur untuk menjadi manusia.

“[Kita bukan] puncak evolusi,” kata Cofran. “Adalah kesalahpahaman untuk percaya bahwa segala sesuatu berkembang menuju manusia.” Faktanya, katanya, evolusi sebenarnya tidak memiliki tujuan. “Sebagai masyarakat, kita telah menanamkan istilah evolusi dengan banyak beban sosial, di mana kita menganggap evolusi sebagai semacam peningkatan.”

Padahal, tidak.

Di sisi lain, banyak orang, termasuk ilmuwan, menolak teori evolusi, “Saya tidak berasal dari monyet.” Tentu saja, sebagian berangkat dari kesalahpahaman, karena kita memang tidak diturunkan dari primata modern. Sebenarnya, lebih seperti sepupu jauh, namun masih dalam keluarga yang sama.

Planet of The Apes menunjukkan gengsi mendalam orang-orang untuk melihat diri mereka sebagai bagian dari rumpun satwa. Berkat prevalensi pandangan ini, tunduk pada gorila mungkin merupakan masa depan yang paling distopia yang bisa dibayangkan.

Elemen distopia lain adalah kesepian mendalam yang dialami karakter Heston dalam film tersebut. Itu lahir dari isolasi yang kejam. Ia dikelilingi manusia, tetapi hampir tidak bisa berkomunikasi dengan mereka karena mereka telah berpindah ke keadaan keberadaan non-verbal. Jadi Heston tidak hanya tunduk pada sekelompok kera yang naik kuda, membawa senjata, berpakaian norak, yang bisa berbicara. Ia juga dikelilingi umatnya sendiri yang tidak berdaya.

Pertanyaan lebih menarik: ‘Apakah manusia benar-benar spesies yang baik untuk planet kita?’

Seni dan film tidak pernah bisa menggantikan atau setara dengan sains, tapi Planet of The Apes membuktikan bahwa sinema bisa melengkapi sains.

Best Lines:

George Taylor: There’s your Minister of Science; honor-bound to expand the frontiers of knowledge…

Dr. Zira: Taylor, please!

George Taylor: …except that he’s also chief Defender of the Faith!

After Watch, I Listen:

Pink Floyd – The Great Gig on The Sky

18ThursdayJan 2024

Posted by sonitriantoro in Film 1960-an Paling Kucintai

Leave a comment

Tags

film crime bagus, film hitam putih bagus, film lama bagus, film lawas bagus

film lama bagus – Melangit Merah (18)

Richard Brooks

1967

Crime

Apa yang kalian pikirkan setiap membaca berita perampokan yang sadis? Harta dikuras, penghuni rumah dibunuh secara biadab, mungkin ada yang diperkosa dahulu, lantas ditinggal kabur. Ini jenis berita yang membuat kita pesimis terhadap manusia. Dunia terasa tak layak lagi ditinggali, bukan karena faktor eksternal seperti bencana alam atau krisis iklim, tapi karena manusia seakan tidak lagi bisa membedakan batasan hitam-putih moralitas paling mendasar. Kita menjadi lebih mudah curiga dengan tetangga, masyarakat, sesama.

Di Amerika Serikat, seorang penulis bernama Truman Capote pernah melakukannya. Bukan “merampok”-nya ya, tapi pernah berhasil membuat warga negaranya ketakutan setiap hari. Biangnya adalah novelnya berjudul In Cold Blood.

In Cold Blood menceritakan sebuah kisah nyata: perampokan keji dan berdarah dingin yang dilakukan duet bandit, bernama Richard Eugene “Dick” Hickock dan Perry Edward Smith. Mereka merampok rumah keluarga tani kaya Herbert Clutter dengan rancangan rencana yang tampaknya serba matang.

Setelah berkendara lebih dari 400 mil melintasi Kansas pada 1959, Dick dan Smith menemukan rumah keluarga Clutter, lalu masuk melalui pintu yang tidak terkunci saat keluarga itu tidur. Semuanya berjalan baik bagi rencana perampokan itu, tidak ada sheriff, hansip, satpam, anjing bulldog, alarm, CCTV yang punya fitur tersambar halilintar, dll. Semua terkendali, semua sesuai rencana…

… kecuali satu hal.

Clutter ternyata tidak punya brankas uang, karena ia selalu mentransaksikan semua urusan bisnisnya menggunakan gopay cek. Artinya, tidak ada harta yang bisa diambil.

Setelah membangunkan keluarga Clutter dan menyadari tidak ada brankas, Dick dan Smith mengikat para anggota keluarga itu. Mereka terus mencari apa saja yang bisa diambil, tetapi hanya menemukan sedikit barang berharga. Karena kecewa dan panik, mereka akhirnya malah berdebat. Smith, yang mentalnya kurang stabil, menggorok leher dan menembak kepala Herbert Clutter.

Dalam pengakuannya di sekuens belakang, “Saya tidak ingin menyakiti pria itu. Saya pikir dia pria yang sangat baik. Bicaranya lembut. Saya berpikir begitu sampai saya (betul-betul) menggorok lehernya.”

Kadung panik, Dick dan Smith lalu sekalian membunuh seisi keluarga itu: istri dan dua anak. Kedua pendosa itu lalu kabur meninggalkan TKP hanya dengan membawa pulang radio portabel kecil, sepasang teropong, dan uang tunai kurang dari 50 dolar AS. Hasil rampokan kelas copet terminal itu sangat tidak sebanding dengan direnggutnya empat nyawa tidak bersalah.

Singkat cerita, berkat “aduan” mantan kenalan Dick di penjara, kedua perampok itu diidentifikasi sebagai tersangka dan ditangkap di Las Vegas. Dan mereka akhirnya mengakui segalanya setelah diinterogasi.

Dick dan Smith dibawa kembali ke Kansas, diadili bersama di gedung pengadilan pada tahun 1960. Mereka berdua sempat mengaku gila di persidangan, tetapi dokter umum setempat mengevaluasi terdakwa dan menyatakan mereka waras.

Pengacara pembela meminta pendapat seorang psikiater berpengalaman dari rumah sakit jiwa lokal yang mendiagnosis gejala penyakit mental pada Smith. Ia juga merasa cedera kepala Dick sebelumnya dapat memengaruhi perilakunya.

Pendapat ini tidak diterima dalam persidangan.Juri berunding hanya selama 45 menit untuk memutuskan Dick dan Smith bersalah. Keyakinan para juri menghasilkan hukuman mati. Di tingkat banding, Smith dan Dick menentang keputusan bahwa mereka waras, menegaskan bahwa liputan media tentang kejahatan dan persidangan telah membuat juri bias, dan merekamerasamenerima bantuan yang tidak memadai dari pengacara. Banding ini diajukan tiga kali ke Mahkamah Agung Amerika Serikat, tapi tak berhasil mengubah vonis.

Smith dan Dick akhirnya dieksekusi dengan cara digantung pada 1965. Dick dieksekusi terlebih dahulu, dinyatakan meninggal pada pukul 12:41 siang setelah digantung selama hampir 20 menit. Smith menyusul tak lama kemudian, dinyatakan meninggal pada pukul 1:19 siang.

Selama beberapa bulan pertama persidangan ini, kasus pembunuhan Dick dan Smith tidak diperhatikan kebanyakan orang Amerika. Baru beberapa bulan sebelum eksekusi, mereka menjelma menjadi salah dua pembunuh paling kondang di dunia. Karena kebrutalan dan beratnya kejahatan, persidangan diliput secara internasional, diskusi tentang hukuman mati dan penyakit mental mulai merebak. Majalah Time pun menerbitkan edisi bertajuk “Kansas: The Killers“.

Terinspirasi oleh artikel tersebut, Truman Capote menuliskan topik yang sama, diserialkan di The New Yorker. Pada tahun 1966, serial itu diterbitkan sebagai “novel non-fiksi,” berjudul In Cold Blood. Genre-nya disebut true crime: penulis meneliti aksi kriminal yang betulan terjadi, merinci tindakan tokoh-tokoh nyata yang terkait.

Capote melakukan penelitian besar-besaran untuk buku tersebut. Ia bahkan mengajak teman masa kecilnya, Harper Lee –betul, penulis To Kill a Mockingbird—untuk membantu mendapatkan kepercayaan dari penduduk setempat di Kansas.

Capote juga melakukan wawancara pribadi dengan Smith dan Dick–sebelum mereka dieksekusi. Di antara keduanya, Smith yang secara khusus membuat Capote terpesona. Dalam novel itu, Smith digambarkan sebagai sosok yang lebih sensitif dan melankolis dibanding Dick.

film lama bagus – Melangit Merah (19)

Novel In Cold Blood sangat laris, merupakan novel crime terlaris kedua dalam sejarah, di belakang Helter Skelter (1974) karya Vincent Bugliosi tentang pembunuhan Charles Manson. In Cold Blood dipuji karena unsur prosanya yang fasih, detail yang kaya, dan alur narasi unik yang menggambarkan kehidupan pembunuh, korban, dan anggota komunitas pedesaan lainnya dalam urutan bergantian. Elemen psikologi dan latar belakang Dick dan Smith diberi perhatian khusus, seperti hubungan kompleks pasangan itu selama dan setelah pembunuhan. In Cold Blood dianggap para kritikus sebagai salah satu karya perintis dalam genre true crime, meskipun Capote kecewa karena buku tersebut gagal memenangkan Penghargaan Pulitzer.

Lewat buku In Cold Blood, Capote mengklaim menemukan bentuk baru “novel nonfiksi.” Perkembangannya dalam bentuk yang digambarkannya menggabungkan linearitas jurnalisme “horizontal” dengan “vertikalitas” fiksi bisa membawa pembaca lebih dalam, dan jauh lebih dalam, menyelami karakter dan peristiwa.

In Cold Blood memang tidak konvensional pada masanya. New Journalism (Jurnalisme Baru), sebagai sebuah genre dan gaya penulisan, berkembang selama masa penulisan In Cold Blood. Capote menjadi pionir dalam menunjukkan bagaimana genre ini dapat digunakan secara efektif untuk membuat cerita non-fiksi yang unik. Jurnalisme baru dicirikan dengan perspektif subjektif, gaya sastra yang mengingatkan pada format non-fiksi panjang. Reporter menyisipkan bahasa subjektif dalam lautan fakta sambil membenamkan diri dalam cerita saat mereka melaporkan dan menulisnya—sementara dalam jurnalisme tradisional, jurnalis “dilarang terlihat”, fakta wajib dilaporkan secara objektif.

Dalam jurnalisme baru, dimungkinkan juga bagi Capote menulis cerita non-fiksi saat peristiwa nyatanya masih terus berkembang menghasilkan fakta-fakta baru. Inilah yang dilakukan Capote ketika mengikuti persidangan dan mewawancarai orang-orang terdekat dari keluarga Clutter. In Cold Blood disusun dari jurnalis, dan lahir dari novelis.

Maka, bila ingin difilmkan, sutradara yang tepat memang adalah Richard Brooks.

Brooks punya jejak rekam sebagai wartawan olahraga dan radio. Ia sempat menulis buku yang diadaptasi menjadi film Crossfire (1947). Itu adalah film Hollywood populer pertama yang mengangkat topik anti-Semitisme. Novel itu juga menarik perhatian produser independen Mark Hellinger yang kemudian mempekerjakan Brooks sebagai penulis skenario.

Bekerja untuk Hellinger membawa Brooks kembali ke industri film—dan menjalin persahabatan dengan Humphrey Bogart. Selain banyak menyumbang naskah—beberapa tanpa kredit—Brooks menyutradarai film berjudul Blackboard Jungle (1955) yang dibintangi Glenn Ford. Ini film yang mempresentasikan kenakalan remaja pada zamannya, memperkenalkan lagu perintis genre rock & roll, “Rock Around the Clock” dari Bill Haley and the Comets. Skenario Blackboard Jungle dinominasikan di Oscar, dan sukses menjadi penghasil uang teratas MGM tahun itu.

Pada tahun 1955, Brooks merupakan satu dari empat sineas auteur AS yang disebut sebagai “pemberontak” oleh majalah Prancis Cahiers du Cinéma—sirkel elitnya gerakan French New Wave. Meski meraih kesuksesan box-office, tapi Brooks merasa tidak akan pernah memiliki kendali penuh atas film-filmnya saat berada di bawah kontrak. Ia bertekad menghindari penulisan skenario asli dan fokus pada adaptasi buku terlaris atau novel klasik. Mengadaptasi sebuah novel dirasanya bisa memberi awal yang baik untuk mengembangkan struktur cerita yang diperlukan untuk sebuah skenario.

Salah satu hasil terbaiknya adalah adaptasi dari naskah drama bermuatan seksual, Cat on a Hot Tin Roof (1958). Ini sebuah film laris lainnya untuk MGM, menghidupkan kembali karier Elizabeth Taylor, dan meroketkan aktor Paul Newman. Brooks pun akhirnya meraih nominasi Oscar pertamanya untuk kategori Best Director dan Best Picture. Saya sendiri kurang suka dengan Cat on a Hot Tin Roof (1958) karena merasa atmosfer ala opera sabunnya terlalu kental, meski temanya menarik.

Brooks sering bentrok dengan kebijakan studio tentang tampilan, nuansa film, dan cerita yang disajikan. Tujuannya sebagai pembuat film adalah kontrol total produksi, dan ia cukup bisa mencapai itu setelah kesuksesan Cat on a Hot Tin Roof. Brooks dikenal sebagai sutradara yang sat set dan efisien, serta beroperasi dengan anggaran ketat.

Kembali menolak langkah metodis yang bisa memperlambat produksinya, Brooks bekerja cepat ketika mengadaptasi “novel nonfiksi” In Cold Blood. Namun, sebagai mantan reporter, Brooks terdorong melakukan penelitiannya sendiri tentang kasus perampokan itu.

Capote sendiri memilih Brooks karena, “ia adalah satu-satunya sutradara yang setuju dan bersedia mengambil risiko dengan konsep saya sendiri tentang bagaimana buku itu harus ditransfer ke film.” Baik Brooks dan Capote menginginkan film tersebut direkam dalam warna hitam dan putih, yang pada tahun 1967 masih menandakan keselarasan dengan realisme dokumenter. Mereka juga bersikeras memilih aktor yang tidak dikenal. Ketika Capote mengunjungi lokasi syuting lalu pertama kali melihat Robert Blake dan Scott Wilson yang dipilih Brooks untuk memerankan Dick dan Smith, ia terpesona. Padahal, seperti yang diingat Brooks, Columbia menginginkan Paul Newman dan Steve McQueen untuk peran tersebut.

Skenario Brooks sebenarnya mengikuti struktur novel Capote dengan cermat, meskipun ada sedikit detail yang ditambahkan. Misalnya, dalam adaptasi filmnya, Brooks bermaksud mengkritisi hukuman mati melalui percakapan antara Smith dan sipir penjara di akhir film. Pada adegan itu, Smith meminta izin untuk pergi ke toilet sebelum eksekusi, takut ia akan bikin malu di depan penonton.

Sesuai dengan keinginan Brooks mencapai realisme sebanyak mungkin, beberapa adegan difilmkan di di lokasi kejadian aslinya, termasuk pertanian keluarga Clutter yang jadi tempat pembunuhan terjadi. Keluarga yang tinggal di rumah Clutter dibayar 15 ribu dolar sebagai kompensasi untuk empat minggu pembuatan film. Izin syuting ditolak di penjara Kansas, sehingga interior ruang eksekusi direplikasi di studio Hollywood. Tali gantungan eksekusi dibeli dari lembaga pemasyarakatan, begitupun seragam petugas. Jamban sebenarnya di ruang tahanan Smith dan Dick juga dibeli dan dipasang di lokasi syuting.

Pokoknya Brooks tidak ragu membuat film ini sedekat mungkin dengan peristiwa aslinya. Foto keluarga yang terlihat di kamar-kamar rumah adalah foto asli anggota keluarga Clutter. Dick dan Smith dalam film membeli beberapa barang persiapan merampok di toko asli tempat pembunuh sebenarnya membeli barang mereka, bahkan penjaga tokonya pun sama. Tak tanggung-tanggung, dua pasang mata yang ada di poster filmnya bukan milik Blake dan Wilson, melainkan mata pembunuh yang sebenarnya.

Kritikus Roger Ebert menilai, “At times one feels this is not a movie but a documentary where the events are taking place now”. In Cold Blood yang memuat gaya dokumenter dianggap sebagai salah satu film 1960-an yang berhasil menyuguhkan gaya Hollywood yang lebih dewasa.

Sejak awal, Brooks bersikeras film dari sebuah buku yang terkenal karena ketelitian penelitian penulisnya harus bisa menyamai atau mengunggulinya dalam menciptakan efek yang realistis. Pilihan kru dari Brooks pun dinilai dari kemampuan mereka menghadirkan kualitas yang akan dirasakan oleh penonton sebagai film yang lebih dekat dengan pengalaman mentah daripada film arus utama pada umumnya. Sinematografer Conrad Hall misalnya, sebelumnya bekerja untuk The Professionals (1966) dan serial TV The Outer Limits (1963–65). Ia sudah cukup terasah untuk mengombinasikan abstraksi fiksi dan unsur kedekatan dalam dokumenter.

Namun, tentu realisme di halaman novel dan realisme di layar lebar berarti berbeda. Sangat menarik melihat perbedaan ini dimainkan dalam film In Cold Blood. Brooks punya keunggulan dalam kekuatan visual, bagaimana ia memilih objek yang dimasukkan dalam gambar. Lokasi-lokasi dalam film memberikan akses instan penonton ke nuansa Amerika yang masih perlu dibangun secara logis oleh Capote kepada pembacanya.

Inovasi menentukan lain yang dibuat Brooks dalam mengadaptasi novel In Cold Blood adalah membangun motif visual dari ingatan dan halusinasi Smith tentang orang tuanya. Ketika Smith berlari ke ruang bawah tanah, menghadapi Clutter yang sedang terikat, adegan tembakan ayah Smith langsung disisipkan di sana, memberikan konfirmasi visual untuk gagasan bahwa pembunuhan Clutter adalah balas dendam Smith yang tidak disadari kepada ayahnya.

Brooks menempatkan In Cold Blood dalam tradisi personalnya tentang film jurnalisme. Ia memberi kesempatan karakter agen investigasi, Alvin Dewey berbicara sinis tentang wartawan dan surat kabar (“Suatu hari nanti, seseorang akan menjelaskan kepada saya motif surat kabar. Pertama, Anda berteriak, ‘Temukan bajingan itu.’ Sampai kami menemukan mereka, Anda ingin kami dipecat. Ketika kami menemukan mereka, Anda menuduh kami melakukan kebrutalan. Sebelum kita pergi ke pengadilan, Anda memberi mereka persidangan melalui surat kabar. Ketika kami akhirnya mendapatkan keyakinan, Anda ingin menyelamatkan mereka dengan membuktikan bahwa mereka gila sejak awal.”).

Setidaknya dalam dua adegan, karakter Smith menyinggung film The Treasure of the Sierra Madre (1948). Di film klasik itu, Blake kecil ternyata berperan sebagai tukang koran yang menjual tiket lotre kepada Humphrey Bogart. In Cold Blood mengingatkan pula Psycho (1960) dalam aspek-aspek tertentu: pembunuhan acak, horor jalanan, sebuah kota kecil yang dirundung kejahatan. Preseden lain untuk film Brooks adalah Anatomy of a Murder (1959) karya Otto Preminger, terkenal karena bahasanya yang jujur, dan juga diambil di lokasi terjadinya kisah kehidupan nyata. Untuk pembunuhan tanpa motif, saya tidak akan pernah lupa Strangers on a Train (1951).

Setelah menyelesaikan novel dan mewawancarai Dick dan Smith, Capote menyatakan menentang hukuman mati. Namun, Brooks melangkah lebih jauh dari Capote dalam mengutuk hukuman mati. Pada adegan terakhir, diperlihatkan Smith mengira algojonya adalah ayahnya. Ini menggarisbawahi poin utama Brooks: hukuman mati adalah pembunuhan. Ditanyai nama algojo oleh wartawan, Alvin Dewey selaku agen investigasi menjawab, “We the people.” Skor akhirnya seperti yang dihitung oleh sang wartawan: “Empat orang yang tidak bersalah dan dua orang yang bersalah dibunuh.”

Brooks juga lebih menebar empati kepada Smith. Saat akan pergi ke tiang gantungan, Smith mengekspresikan ketakutan menyedihkan. Kemudian, dalam adegan yang mengharukan di samping jendela, ia mengingat-ingat ayahnya. Conrad Hall berkali-kali menceritakan bagaimana efek luar biasa dari pantulan air yang mengalir di wajah Blake tidak direncanakan sebelumnya.

Brooks memfilmkan eksekusi itu dengan penuh pesona. Ia memilih bidikan subjektif dari sudut pandang Perry. Teror yang dialaminya saat menaiki tiang gantungan terasa. Di satu bagian, Perry berputar untuk memperhatikan setiap detail dari persiapan yang sedang berlangsung.

Sidang dalam kasus ini banyak dikutip sebagai contoh dari keterbatasan aturan M’Naghten yang digunakan untuk menentukan apakah seorang penjahat waras atau tidak. Dalam Intention – Law and Society, James Marshall lebih jauh mengkritik aturan M’Naghten, mempertanyakan prinsip-prinsip psikologis yang menjadi dasar aturan tersebut. Ia menyatakan, aturan M’Naghten didasarkan pada hipotesis yang salah bahwa perilaku hanya didasarkan pada aktivitas dan kapasitas intelektual.

Film In Cold Blood berusaha tidak hanya menyajikan realitas tetapi menebusnya. Ini membuat versi filmnya terasa lebih “abad pertengahan”. Sikap perlawanan Brooks terhadap hukuman mati, oposisinya terhadap penegakan hukum dan peradilan pidana, serta asumsinya tentang sudut pandang subjektif Perry mungkin terasa kurang modern daripada netralitas Capote.

Namun, tenggelam dalam visual gaya AS dekade 1960-an, film In Cold Blood berhasil membuat audiens lebih kecewa, lebih putus asa, daripada novelnya. Brooks tidak melihat apa pun di masa depan kecuali pengulangan yang tidak berarti, produksi massal pembunuhan. Kekerasan dan teror pembunuhan, kurangnya motif yang jelas, dan penggambaran para korbannya sebagai warga biasa membuat kasus ini menjadi tengara psikis yang mengerikan bagi banyak orang, terutama mereka yang berpikir atau takut masyarakat AS di ambang keruntuhan.

Jika penangkapan, penghukuman, dan eksekusi Smith dan Dick gagal meredakan kecemasan semacam itu, salah satunya karena novel dan film In Cold Blood merasuk dalam kesadaran massa. Kisah ini menunjukan jenis kemalangan dan kekejaman yang menjadi ciri kedua pembunuh itu terus hidup.

Pada tahun 2009, 50 tahun setelah pembunuhan Clutter, Huffington Post menyurvei warga Kansas tentang efek persidangan tersebut, dan pendapat mereka tentang In Cold Blood. Banyak responden mengatakan, mereka mulai kehilangan kepercayaan pada orang lain, pintu terkunci, hubungan antar tetangga memburuk.

Sementara itu, mungkin upaya Brooks membuat film ini begitu dekat dengan aslinya berujung mengejutkan. Pada bulan Maret 2005, Blake–aktor yang memerankan Smith–divonis telah membunuh istrinya sendiri.

Ternyata, memang terlalu dekat dengan aslinya.

Best Lines:

Perry: That was stupid – stealin’ a lousy pack of razor blades! To prove what?

Dick: It’s the national pastime, baby, stealin’ and cheatin’. If they ever count every cheatin’ wife and tax chiseler, the whole country would be behind prison walls.

After Watch, I Listen:

Jimi Hendrix – Voodoo Child

01SundayOct 2023

Posted by sonitriantoro in Film 1960-an Paling Kucintai

Leave a comment

Tags

film 60-an bagus, film interracial marriage, film kulit hitam, film lama bagus, film pernikahan beda ras

film lama bagus – Melangit Merah (20)

Stanley Kramer

1967

Romance

Lagi-lagi Spencer Tracy jadi suami, Katharine Hepburn jadi istri. Dan lagi-lagi, hasilnya sesuatu yang menarik.

Sebelum film satu ini, Stanley Kramer sudah pernah membahas isu rasisme kulit hitam di The Defiant Ones (1958). Berkisah tentang dua napi yang kabur dari penjara dengan tangan masih terborgol. Satu berkulit putih, satu berkulit hitam. Lumayan bagus, mari ditonton.

The Defiant Ones kemudian jadi salah satu karya yang bantu menahbiskan Kramer sebagai sutradara film-film yang dilabeli dengan istilah messages movie. Artinya, kurang lebih: film-film yang ada pesan kemanusiaannya.

Messages di The Defiant Ones pun bukan messages biasa, terutama dari segi konteks masa tayangnya film tersebut. Jangan salah, hari ini sih boleh saja Hollywood membludaki bioskop dan panggung penghargaan sinema dengan isu-isu diskriminasi kulit hitam. Tapi, di era 50-60-an, isu rasial semacam ini jauh dari trendi, melainkan masih amat sensitif dan tinggi kadar kontroversi.

Sukses dengan The Defiant Ones, Kramer meningkatkan lagi kandungan progresifnya lewat sebuah film tentang perkawinan beda ras–kulit hitam dan kulit putih–bertajuk Guess Who’s Coming To Dinner.

Ini film penting. Alasan utamanya, Guess Who’s Coming To Dinner merupakan film (populer) pertama yang menyentuh topik itu sejak era film bisu tahun 1920-an. Aktor utamanya, Sidney Poitier menyebutnya film “revolusioner”, dan memaparkan alasannya:

“Tidak ada produser, tidak ada sutradara yang bisa menghasilkan uang (dari film sejenis ini), dan bioskop di AS juga tidak akan menayangkannya. Tapi Kramer membuat orang bisa melihat masalah (rasial) itu untuk pertama kalinya… Ia memperlakukan tema itu dengan humor, tetapi dengan begitu halus, begitu manusiawi, begitu penuh kasih sehingga ia membuat semua orang menyimak pertanyaan itu untuk pertama kalinya dalam sejarah film!”

Kramer dan William Rose selaku penulis naskah sengaja mengerjakan film tersebut untuk menyanggah stereotip etnis. Karakter John Wade Prentice (Sidney Poitier) ditulis sebagai dokter muda yang tampak sempurna sebagai seorang menantu. Sengaja diciptakan begitu supaya satu-satunya keberatan yang mungkin muncul dari calon mertuanya, Matt Drayton (Spencer Tracy) dan Christina Drayton (Katharine Hepburn) hanyalah karena ia berkulit hitam.

Apalagi, Joanna Drayton (Katharine Houghton) diceritakan baru kenalan dengan Prentice selama 10 hari. Namun, ia tiba-tiba pulang ke rumah, meminta izin ayah-ibunya akan menikahi pria itu. Untung ini bukan sinetron, jadi respons Matt dan Christina tidak langsung kalap. Reaksi keberatan mereka amat realistis. Diungkapkan dari satu obrolan ke obrolan.

Namun, situasi makin rumit karena Prentice tiba-tiba mengundang orang tuanya—yang tentu saja hitam semua—untuk ikut makan malam di rumah keluarga Drayton.

Inilah asal mula judulnya: Guess Who’s Coming for Dinner.

Sudah kebayang kan konfliknya seperti apa kira-kira? Di masa lampau, interracial marriage, atau pernikahan beda ras dilarang di Amerika Serikat, Nazi Jerman, dan di era apartheid Afrika Selatan. Pada tahun 1960, ini masih tak diizinkan dalam hukum di 31 negara bagian AS.

Perkawinan, kohabitasi, dan seks beda ras disebut miscegenation sejak istilah tersebut diciptakan pada tahun 1863. Penggunaan istilah ini jarang muncul di zaman sekarang, kecuali ketika merujuk pada hukum sejarah yang melarang praktik tersebut.

Sebenarnya hak perkawinan beda ras sempat dilindungi secara internasional di bawah “Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia” PBB yang telah memberikan hak untuk menikah “tanpa batasan karena ras, kebangsaan atau agama” sejak diresmikan di tahun 1948.

Namun, ketentuan itu baru menjadi legal di seluruh AS pada tahun 1967—berbarengan dengan rilisnya film Guess Who’s Coming To Dinner. Ini menyusul keputusan Mahkamah Agung AS dalam kasus Loving v. Virginia, yang memutuskan bahwa pembatasan berdasarkan ras pada pernikahan, seperti anti-perbedaan antar ras melanggar Klausul Perlindungan Setara (diadopsi pada tahun 1868) Konstitusi Amerika Serikat.

Hari ini, pembatasan-pembatasan itu mulai menipis. Sebuah studi tahun 2012 oleh Pew Research melaporkan, hanya 11 persen orang AS tidak menyetujui pernikahan beda ras. Sementara 43 persen mengatakan itu baik untuk masyarakat, dan 11 persen mengaku tidak peduli. Pada tahun 2021, angka yang sepakat dengan pernikahan beda ras sudah meningkat sampai 94 persen.

Akan tetapi, kita perlu putar balik dulu ke era Guess Who’s Coming To Dinner rilis.

Memangnya kenapa kalau menikah beda ras di tahun 1967? Ini yang belum terlalu terjelaskan di film itu. Apa alasan kekhawatiran Matt dan Christina andai putrinya menikahi seorang negro?

Saya coba jawab sendiri pakai riset. Pasangan beda ras punya tingkat perceraian yang lebih tinggi. Satu temuan turuna yang konsisten dari sebuah penelitian itu pun menyatakan jenis kelamin secara signifikan berhubungan dengan risiko perceraian dari perkawinan antar ras. Rumah tangga beda ras yang melibatkan wanita kulit putih memiliki risiko perceraian yang lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga beda ras yang melibatkan wanita Asia atau Kulit Hitam.

Loh, kenapa? Ternyata, muaranya ya rasisme itu sendiri. Menurut penulis Stella Ting-Toomey dan Tenzin Dorjee, peningkatan risiko perceraian pada pasangan beda ras dengan istri kulit putih disebabkan penurunan dukungan dari anggota keluarga dan teman. Di sisi lain, perempuan kulit putih juga dipandang “tidak memenuhi syarat” oleh mertua non-kulit putih mereka, untuk membesarkan dan mengasuh anak-anak ras campuran, karena kurangnya pengalaman mereka dalam menjelajahi budaya minoritas. Sebuah studi tahun 2018 oleh Jennifer Bratter dan Ellen Whitehead menambahkan, perempuan kulit putih dengan anak ras campuran lebih kecil kemungkinan menerima dukungan keluarga daripada perempuan non-kulit putih dengan anak ras campuran.

Selain itu, perempuan kulit putih yang menikah dengan laki-laki kulit hitam lebih cenderung mengalami insiden diskriminasi rasial di depan umum, misalnya layanan restoran yang lebih rendah. Faktor-faktor prasangka seperti itu dapat menempatkan pernikahan-pernikahan ini pada peningkatan risiko perceraian.

Meskipun undang-undang anti-perbedaan keturunan telah dicabut Pengadilan Warren pada tahun 1967, stigma sosial yang terkait dengan pernikahan beda ras masih bersemayam di masyarakat saat ini meskipun pada tingkat yang jauh lebih rendah.

Lalu, apakah Guess Who’s Coming for Dinner punya peran dalam menurunnya level rasisme di AS?

Yang pasti, kesuksesan komersial Guess Who’s Coming for Dinner—kesuksesan terakhir Kramer juga—membantu Hollywood mereformasi praktik pemasaran film-filmnya. Sebelumnya, ada asumsi hanya segelintir orang kulit putih yang mau menonton film yang mengangkat isu kulit hitam. Hollywood kemudian tercengang bagaimana film ini ternyata bisa dijual dengan baik, termasuk di negara-negara kawasan selatan AS yang sebelumnya sulit menerima film dengan pemeran utama kulit hitam.

Alhasil, kehadiran aktor kulit hitam yang menonjol dalam sebuah film tidak pernah lagi dianggap sebagai duri dalam pemasaran dan distribusi film Hollywood.

Tetap tidak semulus itu bagi Guess Who’s Coming for Dinner. Kramer sempat merasa terganggu dengan sejumlah ulasan negatif, lalu melakukan tur ceramah ke sembilan perguruan tinggi guna memutar film dan mendiskusikan topik integrasi rasial.

Apa ulasan negatifnya? Banyak yang mengkritik karakter Dr. Prentice, mengingat ia digambarkan tidak memiliki kekurangan berarti selain warna kulitnya. Banyak orang beranggapan dinamika antara karakter Draytons dan Prentice akan berakhir bahagia-bahagia saja karena karakter Prentice toh begitu terhormat, menyenangkan, dan terbilang ”pantas” bibit bebet bobot-nya. Ini mengurangi derajat problem yang ditawarkan dalam film. Beberapa orang merasa Prentice “terlalu putih” untuk tidak diterima oleh keluarga Drayton.

Sehingga, pertanyaan yang muncul kemudian apakah orang kulit hitam harus sesempurna Prentice agar bisa diterima?

Dalam Guess Who’s Coming for Dinner, Prentice dan Joey diceritakan baru saling kenal kurang dari dua minggu saat berlibur di Hawaii. Namun, perkenalan singkat itu nyatanya membuat Prentice membatalkan kunjungan ke keluarga yang membesarkannya, demi meminta persetujuan orang tua Joey untuk melamar. Akhirnya, monolog penutup dari Matt Drayton menyimpulkan sebuah akhir yang bahagia bagi semuanya.

“Saya yakin kalian tahu apa yang kalian hadapi,” kata Drayton, memberi petuah pada putri dan calon menantunya. “Akan ada 100 juta orang di sini, di negara ini, yang akan terkejut, tersinggung, dan kalian berdua harus menghadapinya – mungkin setiap hari selama sisa hidup kalian.”

“Kalian dapat mencoba mengabaikan orang-orang ini atau kalian dapat merasa kasihan ke mereka, dan prasangka mereka, dan kefanatikan mereka, dan kebencian buta dan ketakutan bodoh mereka, tetapi jika perlu, kalian hanya perlu berpegangan erat satu sama lain dan berkata, ‘Persetan dengan semuanya. Persetan dengan orang-orang itu!’ ”

Setelah memberikan restu ini, Matt menoleh ke pembantunya, seorang wanita kulit hitam bernama Tillie (Isabel Sanford), lalu bertanya, “Kapan kita akan pergi? Makan malam?”

Tillie lalu bergegas melayani mereka.

Guess Who’s Coming for Dinner akhirnya dianggap justru menunjukan bahwa beberapa orang kulit hitam cukup patut diterima di dunia kulit putih hanya bila mereka sempurna seperti Prentice, atau ya tetap jadi pembantu seperti Tillie.

Prentice harus sempurna, jika tidak, ia bisa ditolak oleh Draytons–dan juga penonton film AS. Ia harus pandai bicara, berpakaian rapi, mapan, dan cukup tampan.

Memang, untuk mendapatkan peran Dr. Prentice dalam film tersebut, Poitier harus mengikuti audisi berupa makan malam terpisah dengan Tracy dan Hepburn. Ia harus memastikan aktingnya tidak bikin akting Tracy dan Hepburn berkurang pesonanya.

Menjumpai pasangan aktor dan aktris kelas dewa dalam sejarah Hollywood, Poitier mengaku kena starstruck, lidahnya kelu. Apalagi, mengingat isu rasisme masih bergejolak selama masa produksi film. Poitier merasa ia dipantau dengan cermat oleh Tracy dan Hepburn selama pertemuan makan malam pertama mereka sebelum produksi. Sekadar info, Poitier adalah satu-satunya aktor kulit hitam yang bisa berperan sebagai pemeran utama dalam industri film AS pada saat itu.

Namun, Poitier akhirnya menemukan cara mengatasi kegugupannya. “Ketika saya akting dengan Tracy dan Hepburn, saya tidak dapat mengingat sepatah kata pun. Akhirnya, Stanley Kramer berkata kepada saya, ‘Apa yang akan kita lakukan?’ Saya berkata, ‘Stanley, suruh kedua orang itu pulang. Saya akan memainkan adegan melawan dua kursi kosong. Saya tidak ingin mereka di sini karena saya tidak bisa menanganinya.’

“Kramer lalu mengirim mereka pulang. Saya memainkan adegan itu secara close-up dengan dua kursi kosong saat pelatih dialog membacakan dialog Tuan Tracy dan Nyonya Hepburn dari kamera.”

Ini cukup menunjukan posisi aktor kulit hitam seperti Poitier masih jadi subordinat. Poitier bahkan terseret sasaran kritik karena karakter Prentice yang terlalu diidealkan tadi, yang seakan tidak diizinkan memiliki cela dalam kepribadian.

Terlepas dari itu, Guess Who’s Coming For Dinner mempertahankan posisinya yang kompleks dalam budaya, khususnya dalam emansipasi kulit hitam. Judulnya tetap menjadi semacam slogan, narasinya menginspirasi film-film hari ini seperti Get Out (2017) dari Jordan Peele.

Sebagaimana film seperti To Kill a Mockingbird (1962), Guess Who’s Coming For Dinner terus bernegosiasi dengan masa lalunya. Selain karakter Prentice yang dinilai kurang representatif, film ini juga dianggap masih berangkat dari sudut pandang kulit putih.

Orang kulit putih kebanyakan di era itu menolak pernikahan beda ras. Kisah dalam Guess Who’s Coming For Dinner menciptakan paralelisme yang menghibur dengan alasan orang tua Prentice pun sama-sama menentang pernikahan itu. Akhirnya, film ini jadi lebih mengundang empati terkait perjuangan cinta anak muda biasanya dibanding persoalan ras. Ini masih cerita untuk orang kulit putih.

Di situlah apa yang membuat Get Out menjadi bagian revisionisme yang begitu menarik dan penting. Get Out menampilkan skenario yang sama – seorang wanita muda kulit putih kelas menengah ke atas memperkenalkan pacar kulit hitam-nya orang tua – tetapi ketakutan dan ketegangan yang memotivasi cerita tersebut tidak dari sudut pandang generasi kulit putihnya. Kengeriannya dirasakan si pria kulit hitam—diperankan Daniel Kaluuya. Genre thriller pun makin membawa jiwa penonton ke dalam sejarah kulit hitam yang menyakitkan selama ratusan tahun.

Tetap saja, mungkin tidak ada Get Out bila tidak ada Guess Who’s Coming For Dinner.

film lama bagus – Melangit Merah (21)

Guess Who’s Coming For Dinner juga jadi penting karena merupakan film terakhir yang menampilkan Spencer Tracy. Sang legenda akting ini bisa dikatakan syuting dalam keadaan sekarat.

Guess Who’s Coming for Dinner adalah karya duet Tracy dan Hepburn kesembilan, sekaligus terakhir. Tracy sudah sakit parah selama pembuatan film, tetapi bersikeras untuk melanjutkan syutingnya.

Kesehatannya memburuk karena penyakit jantung, diabetes, tekanan darah tinggi, penyakit pernapasan, dan penyakit lainnya. Sadar akan kesehatan Tracy yang menurun, perusahaan asuransi menolak untuk menjaminnya selama produksi film. Kramer dan Hepburn sampai turut mempertaruhkan gaji mereka, sehingga jika Tracy meninggal selama produksi, syuting tetap bisa diselesaikan dengan aktor lain.

Menurut Kramer, ” Kami tidak bisa mendapatkan asuransi untuk Spencer. Situasinya tampak putus asa. Jadi kami menemukan cara untuk menanganinya. Kate dan saya membayar gaji kami sendiri untuk mengkompensasi kurangnya perusahaan asuransi untuk Spencer. Dan kami diizinkan untuk melanjutkan.”

Jadwal syuting diubah untuk mengakomodasi kondisi fisik Tracy. Semua adegan dan pengambilan gambar yang melibatkan Tracy diambil antara pukul 9 pagi dan tengah hari guna memberinya waktu yang cukup untuk istirahat selama sisa hari itu.

Sayangnya, kesehatan Tracy menurun lebih serius daripada yang disadari oleh kebanyakan orang yang bekerja di lokasi syuting. “Penyakit Spencer mendominasi segalanya. Saya tahu kesehatannya sangat buruk dan banyak orang yang mengetahui situasinya tidak percaya kami akan menyelesaikan filmnya,” ujar Poitier. “Ada hari-hari ketika ia tidak bisa melakukan apa-apa. Tetapi juga ada hari-hari ketika ia hebat, dan saya mendapat kesempatan untuk mengetahui bagaimana rasanya bekerja dengan Tracy.”

Adegan terakhir Guess Who’s Coming for Dinner, yaitu adegan speech panjang dari Matt, jadi kenangan besar untuk mereka yang mengenal Tracy. Butuh waktu seminggu untuk syuting adegan itu, dan ketika dibungkus, Tracy diberi tepuk tangan meriah oleh kru. Yak, semacam solilokui ini merupakan salah satu adegan terpenting yang pernah dieksekusi Tracy.

Dalam adegan itu, Hepburn sebagai Christina terlihat menangis di latar belakang. Ini bukan akting. Ia tahu betapa sakitnya teman lama sekaligus kekasihnya ini.

Syuting selesai. Tujuh belas hari kemudian, Spencer Tracy meninggal dunia.

Adegan terakhir Tracy dalam jagat sinema itu dipuji-puji di hampir setiap kesempatan. Brendan Gill dari The New Yorker menulis, Tracy memberikan performa yang “sempurna dan, di bawah keadaan memilukan”. Bahkan, Guess Who’s Coming for Dinner pun akhirnya menjadi film Tracy yang paling laris. Ia betul-betul memberi titik pada riwayatnya dengan tinta emas.

Tracy punya reputasi sangat bagus di dunia film. Setelah kematiannya, pimpinan MGM Dore Schary berkata bahwa “tidak diragukan lagi bahwa [Tracy] adalah aktor terbaik dan paling protean di layar kami”. Ia disebut sebagai aktor terhebat di generasinya oleh Clark Gable, James Cagney, Humphrey Bogart, John Ford, Garson Kanin, dan (tentu) Katharine Hepburn. Aktor Richard Widmark, yang mengidolakan Tracy, memanggilnya “aktor film terhebat yang pernah ada” dan berkata bahwa ia “belajar lebih banyak tentang akting dari menonton Tracy daripada dengan cara lain”.

Tracy sangat dihormati karena naturalismenya di layar. Metode aktingnya kelihatan sederhana, tapi sulit digapai ulang. Mengusahakan minimal untuk menghasilkan yang maksimal. Ia tampak tidak melakukan apa-apa. Ia hanya mendengarkan, merasakan, mengucapkan kata-kata tanpa memaksakan apa pun. Joan Crawford juga mengungkapkan kekagumannya atas penampilan Tracy yang tampaknya tanpa usaha, selalu kelihatan mudah.

Saya tidak pernah tahu apa itu akting. Siapa yang bisa jujur mengatakan apa itu? … Saya bertanya-tanya aktor apa yang seharusnya, jika bukan diri mereka sendiri … Saya akhirnya mempersempitnya ke mana, ketika saya memulai suatu bagian, saya berkata pada diri saya sendiri, ini Spencer Tracy sebagai juri, atau ini adalah Spencer Tracy sebagai pendeta atau pengacara, dan biarkan saja. Lihat, satu-satunya hal yang ditawarkan seorang aktor kepada seorang sutradara dan akhirnya penonton adalah instingnya. Itu saja.

–Spencer Tracy.

Menurut Kramer sendiri, Tracy “berpikir dan mendengar lebih baik daripada siapa pun dalam sejarah film”.

Namun, ia tidak suka ditanyai tentang teknik atau dimintai nasihat perihal akting. Malahan ia sering meremehkan profesi akting, “Mengapa aktor berpikir mereka sangat penting? Padahal tidak. Akting bukanlah pekerjaan penting… Lebih penting plumbing (pekerjaan pertukangan pipa).” Ia dikenal menikmati sindiran yang pernah dibuat oleh Alfred Lunt, “Seni akting adalah: pelajari dialogmu dan jangan menabrak furnitur!”

Dan bukan kebetulan rasanya bila Tracy, selaku salah satu aktor terbaik dalam sejarah sinema, punya hubungan romantis dengan salah satu aktris terbaik dalam sejarah sinema.

Relasi paling signifikan dalam hidup Hepburn memang dengan Spencer Tracy. Ini adalah bagian dari legenda Hollywood.

Dalam otobiografinya, Hepburn pernah menulis, “Itu adalah perasaan unik yang saya miliki untuk [Tracy]. Saya akan melakukan apa saja untuknya.”

Hubungan keduanya kemudian dipublikasikan sebagai salah satu kisah cinta megah Hollywood. Bertemu pada tahun 1941–ketika Hepburn berusia 34, dan Tracy berusia 41–Tracy awalnya waspada terhadap Hepburn. Ia ilfil dengan kuku jari Hepburn yang kotor, dan curiga doi lesbian.

Setelah akrab dan semakin mesra, Tracy dan Hepburn mulai masuk ke zona FWB. Tracy yang sudah menikah duluan, tidak bercerai untuk Hepburn. Meskipun ia dan istrinya, Louise telah pisah ranjang sejak 1930-an, tidak pernah ada perceraian resmi. Hepburn pun tidak ikut campur dan tidak pernah menuntut pernikahan.

Konon, Tracy dan Hepburn selalu berhati-hati untuk tidak terlihat bersama di depan umum, dan mempertahankan tempat tinggal yang terpisah. Tapi ya namanya juga selebriti, mana bisa sembunyi-sembunyi secara sempurna. Untungnya, belum ada media sosial dan @lambeturah, jadi ekspos terhadap relasi mereka bisa dipertahankan sampai dalam bentuk santapan anak-anak film saja.

Tracy adalah seorang pecandu alkohol dan sering mengalami depresi. Laporan dari orang-orang yang melihat mereka bersama menggambarkan bagaimana seluruh sikap Hepburn berubah saat berada di sekitar Tracy. Ia mengasuhnya, sampai Tracy menjadi sangat bergantung padanya.

Saat kesehatan Tracy menurun pada awal 60-an, Hepburn rela ambil cuti selama lima tahun demi merawatnya. Ia pindah ke rumah Tracy selama periode cuti itu. Tapi karena mempertimbangkan keluarga Tracy–yang belum resmi cerai–Hepburn tidak menghadiri pemakamannya. Hanya setelah kematian istri sahnya, Louise Tracy, pada tahun 1983, Hepburn mulai berbicara secara terbuka tentang perasaannya terhadap Tracy di media.

Salah satunya, Hepburn mengaku tidak pernah menonton lagi versi utuh dari Guess Who’s Coming for Dinner. Baginya, kenangan tentang perjuangan Tracy menyelesaikan film itu terlalu menyakitkan. Yah, hubungan Hepburn dan Tracy mungkin sama menariknya dengan Prentice dan Joey.

Best Lines:

Matt Drayton: What the hell is it today? Less than 12% of the people in this city are colored people. I can’t even have a dish of Oregon Boosenberry without runnin’ into one of them.

After Watch, I Listen:

The Shireless – Dedicated to The One I Love

Design a site like this with WordPress.com

Get started

film lama bagus – Melangit Merah (2025)
Top Articles
Latest Posts
Recommended Articles
Article information

Author: Clemencia Bogisich Ret

Last Updated:

Views: 6116

Rating: 5 / 5 (60 voted)

Reviews: 83% of readers found this page helpful

Author information

Name: Clemencia Bogisich Ret

Birthday: 2001-07-17

Address: Suite 794 53887 Geri Spring, West Cristentown, KY 54855

Phone: +5934435460663

Job: Central Hospitality Director

Hobby: Yoga, Electronics, Rafting, Lockpicking, Inline skating, Puzzles, scrapbook

Introduction: My name is Clemencia Bogisich Ret, I am a super, outstanding, graceful, friendly, vast, comfortable, agreeable person who loves writing and wants to share my knowledge and understanding with you.